Siswa atau peserta didik merupakan unsur terpenting dalam suatu proses kegiatan belajar mengajar. Sebagai
seorang guru yang sehari-hari mengajar di sekolah, tentunya tidak
jarang harus menangani anak-anak yang mengalami kesulitan dalam belajar.
Anak-anak yang sepertinya sulit sekali menerima materi pelajaran, baik
pelajaran membaca, menulis, serta berhitung. Hal ini terkadang membuat
guru menjadi frustasi memikirkan bagaimana menghadapi anak-anak seperti
ini. Demikian juga para orang tua yang memiliki anak-anak yang memiliki
kesulitan dalam belajar. Harapan agar anak mereka menjadi anak yang
pandai, mendapatkan nilai yang baik di sekolah menambah kesedihan mereka
ketika melihat kenyataan bahwa anak-anak mereka kesulitan dalam
belajar.
Akan
tetapi yang lebih menyedihkan adalah perlakuan yang diterima anak yang
mengalami kesulitan belajar dari orang tua dan guru yang tidak
mengetahui masalah yang sebenarnya, sehingga mereka memberikan cap
kepada anak mereka sebagai anak yang bodoh, tolol, ataupun gagal.
Fenomena
ini kemudian menjadi perhatian para ilmuan yang tertarik dengan masalah
kesulitan belajar. Keuntungannya ialah, mereka mencoba menemukan
metode-metode yang dapat digunakan untuk membantu anak-anak yang
mengalami kesulitan belajar tersebut tetap dapat belajar dan mencapai
apa yang diharapkan guru dan orang tua.
Dalam
tulisan ini, kita akan mendapati apa sebenarnya yang dimaksud masalah
kesulitan belajar, faktor apa yang menjadi penyebabnya, serta jenis kesulitan belajar.
Kesulitan belajar merupakan
terjemahan istilah bahasa Inggris Learning Disability. Terjemahan
tersebut, sesungguhnya kurang tepat karena learning artinya belajar dan
disability artinya ketidakmampuan; sehingga terjemahan yang benar
seharusnya adalah ketidakmampuan belajar. Kesulitan belajar merupakan
suatu konsep multidisipliner yang digunakan di lapangan ilmu pendidikan,
psikologi, maupun ilmu kedokteran. Pada tahun 1963 Samuel A. Kirk untuk
pertama kali menyarankan penyatuan nama-nama gangguan anak seperti
disfungsi otak minimal (minimal brain dysfunction), gangguan neurologis
(neurological disorders), disleksia (dyslexia) dan afasia perkembangan
(developmental aphasia). Konsep tersebut telah diadopsi secara luas dan
pendekatan edukatif terhadap kesulitan belajar telah berkembang secara
cepat, terutama di negara-negara yang sudah maju.
Hallan,
Kauffman, dan Lyoyd (1985: 14), memberikan batasan kesulitan belajar
sebagai berikut: kesulitan belajar khusus adalah suatu gangguan dalam
satu atau lebih dari proses psikologis dasar yang mencakup pemahaman dan
penggunaan bahasa ujaran atau tulisan. Gangguan tersebut mungkin
menampakkan diri dalam bentuk kesulitan mendengarkan, berpikir,
berbicara, membaca, menulis, mengeja atau berhitung. Batasan tersebut
mencakup kondisi-kondisi seperti gangguan perseptual, luka pada otak,
disleksia, dan afasia perkembangan. Batasan tersebut tidak mencakup
anak-anak yang memiliki problema belajar yang penyebab utamanya berasal
dari adanya hambatan dalam penglihatan, pendengaran atau motorik,
hambatan karena tunagrahita, karena gangguan emosional atau karena
kemiskinan lingkungan, budaya, atau ekonomi.
Kesulitan
belajar merupakan suatu konsep multidisipliner yang digunakan di
lapangan ilmu pendidikan, psikologi, maupun ilmu kedokteran. Pada tahun
1963 Samuel A. Kirk pertama kali menyarankan penyatuan nama-nama
gangguan anak seperti disfungsi minimal otak (minimal brain dysfunction), gangguan neurologis (neurological disorders), disleksia (dyslexia), dan afasia perkembangan (developmental aphasia)
menjadi kesulitan belajar (Mulyono Abdurrahman,1995:9). Konsep ini
diadopsi secara luas oleh berbagai disiplin ilmu dalam upaya memahami
dan mendalami kesulitan belajar bagi perkembangan ilmu mereka.
Definisi kesulitan belajar pertama kali dikemukakan olehThe United States Office of Education (USOE) pada tahun 1977, yang hampir identik dengan definisi yang dikeluarkan oleh The National Advisory Committee on Handicapped Children tahun 1967 (Mulyono Abdurrahman,1995: 9-10). Definisi tersebut berbunyi:
Kesulitan
belajar khusus adalah suatu gangguan dalam satu atau lebih dari proses
psikologis dasar yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa ujaran
atau tulisan. Gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk
kesulitan mendengarkan, berfikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja,
atau berhitung.
Batasan
tersebut mencakup kondisi-kondisi seperti gangguan perseptual, luka
pada otak, disleksia, dan afasia perkembangan. Batasan tersebut tidak
mencakup anak-anak yang memiliki problema belajar yang penyebab utamanya
berasal dari adanya hambatan dalam penglihatan, pendengaran atau
motorik, hambatan karena tunagrahita, karena gangguan emosional, atau
karena kemiskinan lingkungan, budaya, atau ekonomi.
Sedangkan The National Joint Committee for Learning Disabilities (NJCLD) (Mulyono Abdurrahman, 1995; 10-12) mengemukan definisi mengenai kesulitan belajar sebagai berikut:
Kesulitan
belajar menunjuk pada sekelompok kesulitan yang dimanifestasikan dalam
bentuk kesulitan yang nyata dalam kemahiran dan penggunaan kemampuan
mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis, menalar, atau kemampuan
dalam bidang studi matematika. Gangguan tersebut instrinsik dan diduga
disebabkan oleh adanya disfungsi sistem saraf pusat. Meskipun suatu
kesulitan belajar mungkin terjadi bersamaan dengan adanya kondisi lain
yang mengganggu (misalnya gangguan sensoris, tunagrahita, hambatan
sosial dan emosional) atau berbagai pengaruh lingkungan misalnya
perbedaan budaya, pembelajaran yang tidak tepat, faktor-faktor
psikogenetik, berbagai hambatan tersebut, bukan penyebab atau pengaruh
langsung.
Definisi
ini memiliki kelebihan dibandingkan definisi sebelumnya karena: (1)
tidak dikaitkan secara eksklusif dengan anak-anak, (2) menghindari
ungkapan “proses psikologis dasar”, (3) tidak memasukkan mengeja sebagai
gangguan yang terpisah dari kesulitan yang mengekspresikan bahasa
tertulis, (4) menghindarkan penyebutan berbagai kondisi gangguan lain
(gangguan perseptual, disleksia, disfungsi minimal otak) yang akan dapat
membingungkan, dan (5) secara jelas menyatakan bahwa kesulitan belajar
mungkin terjadi bersama dengan kondisi-kondisi lain.
The Board of the Association for Children and Adulth with Learning Disabilities (ACALD) mengemukakan definisi tentang kesulitan belajar, yaitu:
Kesulitan
belajar khusus adalah suatu kondisi kronis yang diduga bersumber
neurologis yang secara selektif mengganggu perkembangan, integrasi,
dan/atau kemampuan verbal dan/atau non-verbal.
Kesulitan
belajar khusus tampil sebagai suatu kondisi ketidakmampuan yang nyata
pada orang-orang yang memiliki inteligensi rata-rata hingga superior,
yang memiliki sistem sensoris yang cukup, dan kesempatan untuk belajar
yang cukup pula. Berbagai kondisi tersebut bervariasi dalam perwujudan
dan derajatnya.
Kondisi
tersebut dapat berpengaruh terhadap harga diri, pendidikan, pekerjaan,
sosialisasi, dan/atau aktivitas kehidupan sehari-hari sepanjang
kehidupan.
Meskipun
terdapat perbedaan antara tiga definisi yang telah dikemukakan, akan
tetapi ketiganya memiliki beberapa titik-titik kesamaan, yaitu: (1)
kemungkinan adanya disfungsi neurologis, (2) adanya kesulitan dalam
tugas-tugas akademik, (3) adanya kesenjangan antara prestasi dengan
potensi, dan (4) adanya pengeluaran dari sebab-sebab lain.
Definisi
lainnya dikemukakan oleh The National Joint Committee for Learning
Disabilities (NJCLD), bahwa kesulitan belajar menunjuk pada sekelompok
kesulitan yang dimanifestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam
kemahiran dan penggunaan kemampuan mendengarkan, bercakap-cakap,
membaca, menulis, menalar atau kemampuan dalam bidang studi matematika.
Gangguan tersebut intrinsik dan diduga disebabkan oleh adanya disfungsi
sistem saraf pusat. Meskipun suatu kesulitan belajar mungkin terjadi
bersamaan dengan adanya kondisi lain yang mengganggu (misalnya gangguan
emosional) atau berbagai pengaruh lingkungan (misalnya perbedaan budaya,
pembelajaran yang tidak tepat, faktor psikogenik), berbagai hambatan
tersebut bukan penyebab atau pengaruh langsung.
Menurut
Hammil et al, definisi yang dikemukakan oleh NJCLD tersebut memiliki
kelebihan-kelebihan bila dibandingkan dengan definisi yang dikemukakan
dalam Public Law (PL) 94-142. Kelebihan-kelebihan tersebut adalah karena
(1) tidak dikaitkan secara eksklusif dengan anak-anak; (2) menghindari
ungkapan “proses psikologis dasar”; (3) tidak memasukkan mengeja sebagai
gangguan yang terpisah dari kesulitan mengekspresikan bahasa tertulis;
(4) menghindarkan penyebutan berbagai kondisi gangguan lain (misalnya
gangguan perseptual, disleksia, disfungsi otak minimal) yang akan dapat
membingungkan; dan (5) secara jelas menyatakan bahwa kesulitan belajar
mungkin terjadi bersamaan dengan kondisi-kondisi lain.
Meskipun
definisi yang dikemukakan oleh NJCLD memiliki kelebihan bila
dibandingkan dengan definisi yang dikemukakan oleh The Board of The
Association for Chlidren and Adulth with Learning Disabilities (ACALD)
tidak menyetujui definisi tersebut, dan karena itu mereka mengemukakan
definisi seperti yang dikutip oleh Lovitt (189: 7), sebagai berikut:
Kesulitan
belajar khusus adalah suatu kondisi kronis yang diduga bersumber dari
neurologis yang secara selektif mengganggu perkembangan, integrasi, dan
atau kemampuan verbal dan atau non verbal. Kesulitan belajar khusus
tampil sebagai suatu kondisi ketidakmampuan yang nyata pada orang-orang
yang memiliki intelegensi rata-rata hingga superior, yang memiliki
sistem kesulitan belajar.
Kesulitan
belajar merupakan kekurangan yang tidak nampak secara lahiriah. Ketidak
mampuan dalam belajar tidak dapat dikenali dalam wujud fisik yang
berbeda dengan orang yang tidak mengalami masalah kesulitan belajar.
Faktor-faktor Penyebab Kesulitan Belajar
Seringkali
gejala-gejala kesulitan belajar yang nampak pada seorang anak
disebabkan oleh faktor-faktor yang berlainan dengan anak lain yang
memperlihatkan gejala-gejala yang sama. Misalnya dua orang anak kelas
tiga selalu merepotkan guru dan teman-teman sekelas mereka, karena
seringkali berbicara di dalam kelas, berjalan-jalan di dalam kelas,
mencolek-colek atau mendorong teman-teman sekelas yang duduk berdekatan
dengan mereka. Kedua anak tersebut dikenal sebagai “hyperactive”.
Mereka jarang duduk tenang. Tetapi apabila kedua kasus itu diperiksa
secara teliti, maka akan nyata bahwa yang menyebabkan tingkah laku itu
berbeda bagi seorang anak dengan anak yang lain. Anak yang pertama itu,
bila diperiksa secara seksama akan terdapat bahwa ia menderita alergi
fisik (“physical allergy”). Ia alergi terhadap bahan-bahan kimia
tertentu yang dipakai dalam makanannya agar nampak lebih menarik dan
lebih tahan lama. Misalnya pewarna (“the dyes”) yang dipergunakan dalam
minuman ringan (soda) dan gula adalah bahan yang menimbulkan anak itu
reaksi alergi. Tambahan pula dokter menemukan bahwa darah anak tersebut
menjadi sangat tinggi kadar gulanya setelah ia makan gula-gula dan
minuman ringan yang manis. Hal ini mendadak menambah energi anak itu.
Tetapi sebentar kemudian gula dalam darah itu habis terpakai dan kadar
gulanya menurun banyak, sehingga anak tersebut
menjadi cepat tersinggung (marah), ia tidak dapat memsatkan
perhatiannya terhadap pelajaran. Karena itu ia lalu berbuat gaduh dalam
kelas, mengganggu anak-anak lain dan mondar-mandir di dalam kelas.
Sebaliknya, anak kedua yang sama-sama menampakkan gejala “hyperactive” mempunyai alasan yang berlainan. Anak ini mempunyai enam saudara. Antara ayah dan ibu mereka tidak terdapat
keserasian. Ibu marah terhadap ayah, karena tidak mau mencari pekerjaan
yang menghasilkan uang banyak. Karena itu ibu seringkali menuduh ayah
senang hidup melarat. Sebaliknya ayah mencela ibu, karena tidak
memelihara kebersihan rumah dan anak-anak. Kadang-kadang ayah satu malam
tidak pulang dan ketika esok harinya pulang, istrinya menuduhnya
berlaku serong dengan wanita lain. Dengan perkataan lain di dalam
keluarga itu selalu terdapat ketegangan emosional
(“emotional tension”). Pertentangan antara orang tua menyebabkan
anak-anak tidak merasa aman dan tidak mengetahui apa yang terjadi pada
hari esok. Maka anak-anak itu sering berkelahi satu sama lain. Suasana
rumah demikianlah yang dibawa oleh anak tersebut ke sekolah. Selama
sekolah ia sulit untuk memusatkan perhatiannya terhadap pelajaran
sekolah ia sulit untuk memusatkan perhatiannya terhadap pelajaran
seperti mathematik dan IPS disebabkan ia terus-menerus merasa cemas
kalau-kalau orang tuanya berkelahi bila ia pulang, atau kalau-kalau
ayahnya pergi terus tidak pulang lagi, seperti yang sering diucapkannya
untuk menakut-nakuti. Anak tersebut terus-menerus tertekan akan
pikirannya, tidak mau tetap di tempat duduknya, tetapi mondar-mandir di
dalam kelas. Kadang-kadang rasa tidak aman itu diekspresikan dalam
bentuk mengganggu atau mencela teman-teman sekelasnya. Demikianlah,
seperti contoh dua orang siswa kelas tiga yang “hyperactive” itu,
maka gejala-gejala yang sama mengenai tingkah laku atau kesulitan
belajar kemungkinan merupakan akibat dari pada faktor-faktor yang
berbeda-beda antara seorang anak dan anak lain. Pendiagnosa yang
bijaksana menyadari kenytaan tersebut dan tidak akan segera menarik
kesimpulan bahwa suatu pola kesulitan belajar tentu sebagai akibat sebab
yang sama bagi setiap siswa.
Konselor
yang berpengalaman lebih mempertimbangkan berbagai sebab yang mungkin
menimbulkan suatu pola gejala-gejala tertentu dan selanjutnya ia
memeriksa dengan seksama untuk menemukan manakah di antara berbagai
sebab itu yang rupa-rupanya paling mungkin bagi seorang anak tertentu.[3]
Untuk jelasnya maka kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab kesulitan belajar dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu:
1. Kondisi-kondisi fisiologis yang permanen
a. Inteligensi yang terbatas
Mungkin
seorang siswa kemampuan intelektualnya kurang yang diperlukan untuk
dapat menguasai konsep-konsep pelajaran yang abstrak dengan kecepatan
yang sama seperti teman-teman sekelasnya. Hal ini dapat juga dipakai
dalam mempertimbangkan keterbatasan perbendaharaan kata yang dimilikinya
dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
b. Hambatan penglihatan dan pendengaran
Seorang
siswa mungkin kurang baik penglihatan dan pendengarannya, sehingga ia
salah menafsirkan bahan bacaan dan tidak dapat mendengar semua yang
diterangkan oleh guru.
c. Masalah persepsi
Barang
kali seorang siswa dapat melihat dan mendengarkan secara jelas, tetapi
ketika perangsang penglihatan atau pendengaran sampai pada otaknya
terganggu oelh mekanisme penafsiran atau persepsi “images” itu, sehingga
ia salah menafsirkan informasi yang diperolehnya. Suatu gangguan yang
ringan saja dalam hal ini sudah cukup untuk mempertimbangkan taraf
kesulitan belajarnya.
2. Kondisi-kondisi fisioligis temporer
a. Masalah makanan
Kemungkinan
pula seorang siswa kekurangan vitamin, kuarng cukup protein, mineral
atau substansi lain yang diperlukan. Barang kali anak ini mempunyai
masalah darah yang mengandung gula, karena ia terlalu banyak makan
manis-manis; mula-mula tubuhnya dengan cepat menghabiskan gula itu yang
akibatnya kadar gula dalam darahnya menurun sampai di bawah normal dan
akhirnya anak itu merasa capai serta tidak dapat memusatkan
perhatiannya. Hal ini sesuai pula dengan kebiasaannya sering melamun dan
menundukkan kepalanya di atas bangku.
b. Kecanduan (“Drugs”)
Seorang
siswa boleh jadi mencoba “candu” atau minuman keras yang berasal dari
teman-temannya, sehingga sekarang ia merasa ketagihan. Dalam
minggu-minggu terakhir rasa ketagihannya itu bertambah besar, sehingga
ia tidak dapat memusatkan perhatiannya, tidak dapat menyelesaikan
pekerjaan rumah dan sulit untuk memahami konsep-konsep baru.
c. Kecapekan
Anak itu kemungkinan hanya kurang tidur waktu malam.
3. Kondisi-kondisi lingkungan sosial yang permanen
a. Harapan orang tua tinggi
Ayah
seorang siswa jelas mengharapkan agar anaknya berhasil sekolahnya.
Tetapi kenyataannya seorang siswa mungkin tergolong anak yang taraf
intelligensinya mendekati rata-rata. Mungkin anak tersebut telah
berusaha agar berhasil, tetapi hal itu tidak memuaskan ayahnya; ayahnya
menakut-nakutinya dan mendesaknya agar ia berusaha lebih kuat lagi yang
sebenarnya ia tidak mampu. Karena tertekan itu kemungkinan seorang siswa
menjadi benci terhadap ayahnya. Sebagai akibatnya, baik disadari atau
tidak anak itu mungkin lalu berlaku tidak baik di sekolah dengan maksud
untuk membalas ayahnya. Dengan perkataan lain karena keberhasilan
seorang siswa tersebut di sekolah sedemikian pentingnya bagi rencana
ayahnya, maka berlaku buruk di sekolah merupakan suatu jalan bagi
seorang siswa untuk menghukum atau menyerang ayahnya, walaupun anak itu
mungkin tidak menyadari bahwa hal tersebut merupakan motif yang
mendasari tingkah lakunya.
b. Konflik keluarga
Kemungkinan
tidak ada kesepakatan di antara orang tua seorang siswa tersebut.
Mungkin suasana rumah itu ramai; selain saudara-saudara sekandung siswa
tersebut tinggal pula di rumah itu bibi atau pamannya. Anak itu mungkin
tidak dapat memperoleh ketenangan untuk memikirkan kehidupannya sendiri,
yang bebas dari pertengkaran-pertengkaran, agar dapat memusatkan
perhatian dengan tenang terhadap mata pelajaran tertentu yang menurutnya
sulit itu.
4. Kondisi-kondisi lingkungan yang temporer
a. Ada bagian-bagian dalam urutan belajar yang belum dipahami
Seperti
bidang mathematik lain, aljabar terdiri dari sebuah seri konsep-konsep,
di mana sebuah konsep diperlukan sebagai dasar konsep berikutnya dalam
urutan itu. Bila anda
kehilangan konsep yang penting, boleh jadi anda tidak dapat menangkap
konsep-konsep berikutnya dan oleh karena itu anda sangat bingung serta
akan merosot prestasi anda.
b. Persaingan interes
Bagi
seorang siswa boleh jadi tidak begitu penting menguasai aljabar bila
dibandingkan dengan inters-interes lain dalam kehidupannya. Dengan
perkataan lain ia tidak memiliki motif yang cukup kuat.
Menurut
Burton, sebagaimana dikutip oleh Abin S.M. (2002 : 325-326),
faktor-faktor yang menyebabkan kesulitan belajar individu dapat berupa
faktor internal, yaitu yang berasal dari dalam diri yang bersangkutan,
dan faktor eksternal, adalah faktor yang berasal dari luar diri yang
bersangkutan.
1. Faktor Internal
Yang
dimaksud dengan faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam
diri mahasiswa. Faktor ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor
kejiwaan dan faktor kejasmanian.
a) Faktor kejiwaan, antara lain:
ü minat terhadap mata kuliah kurang;
ü motif belajar rendah;
ü rasa percaya diri kurang;
ü disiplin pribadi rendah;
ü sering meremehkan persoalan;
ü sering mengalami konflik psikis;
ü integritas kepribadian lemah.
b) Faktor kejasmanian, antara lain:
ü keadaan fisik lemah (mudah terserang penyakit);
ü adanya penyakit yang sulit atau tidak dapat disembuhkan;
ü adanya gangguan pada fungsi indera;
ü kelelahan secara fisik.
2. Faktor Eksternal
Yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah faktor yang berada atau berasal dari luar mahasiswa.
a) Faktor instrumental
Faktor-faktor instrumental yang dapat menyebabkan kesulitan belajar mahasiswa antara lain:
ü Kemampuan profesional dan kepribadian dosen yang tidak memadai;
ü Kurikulum yang terlalu berat bagi mahasiswa;
ü Program belajar dan pembelajaran yang tidak tersusun dengan baik;
ü Fasilitas belajar dan pembelajaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan.
b) Faktor lingkungan
Faktor
lingkungan meliputi lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Penyebab
kesulitan belajar yang berupa faktor lingkungan antara lain:
ü Disintegrasi atau disharmonisasi keluarga;
ü Lingkungan sosial kampus yang tidak kondusif;
ü Teman-teman bergaul yang tidak baik;
ü Lokasi kampus yang tidak atau kurang cocok untuk pendidikan.
Setiap
siswa pada prinsipnya tentu berhak memperoleh peluang untuk mencapai
kinerja akademik (academic performance) yang memuaskan.Namun dari
kenyataan sehari-hari tampak jelas bahwa siswa itu memiliki perbedaan
dalam hal kemampuan intelektual, kemampuan fisik, latar belakang
keluarga, kebiasaan dan pendekatan belajar yang terkadang sangat
mencolok antara seorang siswa dengan siswa lainnya.[5]
Selain
itu, kesulitan belajar juga dapat dialami oleh siswa yang berkemampuan
rata-rata (normal) disebabkan oleh faktor-faktor yang menghambat
tercapainya kinerja akademik yang sesuai dengan harapan.[6]
Jenis Kesulitan Belajar
Jenis kesulitan belajar ini dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut:
Dilihat dari jenis kesulitan belajar:
̴ Berat, dan
̴ Sedang
Dilihat dari bidang studi yang dipelajari:
̴ Sebagian bidang studi yang dipelajari, dan
̴ Keseluruhan bidang studi.
Dilihat dari sifat kesulitannya:
̴ Permanen / menetap, dan
̴ Sementara[7]
Jenis-jenis Kesulitan Belajar Darsono
(2000:41) dalam bukunya Belajar dan Pembelajaran menyatakan terdapat
beberapa jenis-jenis kesulitan belajar di antaranya:
1) Learning Disorder
Mengandung
makna suatu proses belajar yang terganggu karena adanya respon-respon
tertentu yang bertentangan atau tidak sesuai. Gejala semacam ini
kemungkinan dialami oleh siswa yang kurang berminat terhadap suatu mata
pelajaran tertentu, tetapi harus mempelajari karena tuntutan kurikulum.
2) Learning Disability
Kesulitan
ini berupa ketidakmampuan belajar karena berbagai sebab. Penyebabnya
beraneka ragam, mungkin akibat perhatian dan dorongan orang tua yang
kurang mendukung atau masalah emosional dan mental.
3) Learning Disfunction
Gangguan
belajar ini berupa gejala proses belajar yang tidak berfungsi dengan
baik karena adanya gangguan syaraf otak sehingga terjadi gangguan pada
salah satu tahap dalam proses belajarnya.
4) Slow Learner atau siswa lamban
Siswa semacam ini memperlihatkan gejala belajar lambat atau dapat dikatakan proses perkembangannya lambat.
5) Under Achiever
Siswa
semacam ini memiliki hasrat belajar rendah di bawah potensi yang ada
padanya. Kecerdasannya tergolong normal, tetapi karena sesuatu hal,
proses belajarnya terganggu sehingga prestasi belajar yang diperolehnya
tidak sesuai dengan kemampuan potensial yang dimilikinya.[8]http://putriyangberduri.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar
coment