Welcome

Senin, 11 Juni 2012

Adat lampung

Secara etimologis istilah Adat dapat diartikan sebagai kebiasaan atau aturan berbuat,
kelaziman berperilaku, cara berbuat yang berulang-ulang, atau kelakuan yang menjadi
kebiasaan. Kebiasaan itu sendiri adalah cara berbuat yang dilakukan berdasarkan norma
yang berlaku dalam masyarakat. Jadi adat merupakan kebiasaan berbuat yang diterima
masyarakat sebagai patokan bernorma (Abdul Syani, 1994).

Sedangkan R.M. Mac Iver dan Charles H. Page (1967), menterjemahkan kebiasaan sebagai perikelakuan yang diakui dan diterima oleh masyarakat. Kebiasaan tidak semata-mata diterima sebagai cara berperikelakuan, akan tetapi diterima sebagai norma-norma pengatur kelakuan. Dalam proses pelembagaan terdapat empat tahapan pembentukan adat-istiadat, yaitu tahap usage (cara), kebiasaan (folkways), tatakelakuan (mores), dan adat-istiadat (custom).

Usage adalah tahap pengenalan tentang bentuk perbuatan tertentu yang belum berpola,
belum bersanksi, lebih menunjuk pada kesadaran pribadi dan belum mengikat, seperti
kebiasaan gosok gigi, atau bangun kesiangan misalnya. Kebiasaan adalah bentuk
perbuatan yang disosialisasikan atau dianjurkan sehingga menjadi perbuatan yang diakui
masyarakat. Kebiasaan menunjukkan perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dalam
bentuk yang sama (ajeg).

Kebiasaan menunjukkan kuantitas orang-orang yang/mengakui suatu perbuatan sebagai patokan atau norma bertindak. Contohnya kebiasaan masyarakat dalam bersopan-santun antara usia muda dan tua. Tatakelakuan merupakan tahapan dimana kebiasaan diterima sebagai norma pengendali, yaitu aturan yang mencerminkan sifat-sifat perilaku yang nyata tentang keharusan, larangan, pemaksaan dan pemberian sanksi, baik terhadap hasil perbuatan sadar ataupun tidak sadar. Anggota masyarakat dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan tatakelakuan yang telah ditetapkan masyarakat sebagai standart perilaku.

Tujuannya adalah untuk menjaga keutuhan dan kerjasama antara anggota-anggota masyarakat, baik dalam tatacara pergaulan sehari-hari maupun dalam kerjasama usaha pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam tahapan ini meskipun satu golongan masyarakat melarang tegas dengan sanksi berat bagi pelanggarnya, seperti larangan perkawinan antara orang-rang yang masih bertalian saudara; akan tetapi masih ada golongann masyarakat yang masih atau justeru menganjurkannya. Sementara itu jika tahapan tatakelakuan ini meningkat kekuatan integrasinya dalam kehidupanmasyarakat dengan sanksi yang semakin kuat dan berlaku bagi semua golongan masyarakat, maka tahapan ini disebut adat-istiadat (custom). Bagi pelanggarnya akan diberi sanksi yang berat sehingga pelanggarnya tersebut akan menderita.

Menurut Leopold von Wiese dan Howard Becker (Selo Soemardjan dan Soelaiman
Soemardi, 1964), bahwa proses tersebut dinamakan institutionalization (pelembagaan),
yaitu suatu proses yang dilewati suatu norma kemasyarakatan yang baru untuk menjadi
bagian dari salah satu lembaga kemasyarakatan. Yang dimaksudkan ialah, sehingga
norma kemasyarakatan itu oleh masyarakat dikenal, diakui, dihargai, dan kemudian ditaati
dalam kehidupan sehari-hari. Contoh, adat-istiadat perkawinan masyarakat lampung
melarang terjadinya perceraian; perkawinan dinilai sebagai kehidupan bersama sampai
mati. Oleh karena itu apabila terjadi perceraian, maka yang bersangkutan bersama garis
keturunannya akan buruk namanya (tercemar), sehingga mereka akan menderita
karenanya. Dalam hal ini tidak hanya masyarakat lampung saja yang menganut adatistiadat
demikian, akan tetapi hampir seluruh golongan etnis masyarakat Indonesia mengakuinya.

Adat-istiadat yang mengandung nilai-nilai moral, hukum, kepercayaan, dan kebiasaankebiasaan berperilaku tersebut merupakan unsur penting dari suatu kebudayaan. Oleh karena itu adat-istiadat merupakan salah satu elemen dari kebudayaan; dan apabila adatistiadat itu secara nyata diwujudkan dalam bentuk perilaku yang tumbuh dari dan atau
menjadi ide/gagasan yang menghasilkan karya dan keindahan, maka adat-istiadat dapat
diidentikkan dengan kebudayaan.

KARAKTERISTIK ADAT BUDAYA LAMPUNG

Dalam buku "Primitive Cultur" karangan E.B.Tylor dikutip oleh Prof. Harsojo (1967:13),
bahwa kebudayaan adalah satu keseluruhan yang kompleks, yang terkandung di dalamnya
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuankemampuan yang lain serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota dari suatu masyarakat. R.Linton (1947) dalam bukunya "The cultural background of personality" mengatakan bahwa kebudayaan adalah konfigurasi dari tingkah laku yang dipelajari dan hasil-hasil dari tingkah laku, yang unsur-unsur pembentuknya didukung danditeruskan oleh anggota dari masyarakat tertentu.

Kebudayaan juga dapat diartikan sebagai keseluruhan bentuk kesenian, yang meliputi
sastra, musik, pahat/ukir, rupa, tari, dan berbagai bentuk karya cipta yang
mengutamakan keindahan (estetika) sebagai kebutuhan hidup manusia. Pihak lain
mengartikan kebudayaan sebagai lambang, benda atau obyek material yang mengandung
nilai tertentu. Lambang ini dapat berbentuk gerakan, warna, suara atau aroma yang
melekat pada lambang itu. Masyarakat tertentu (tidak semua) memberi nilai pada warna
hitam sebagai lambang duka cita, suara lembut (tutur kata) melambangkan kesopanan
(meskipun didaerah lain suara lantang berarti keterbukaan), dan seterusnya.
Koentjaraningrat (1982) memperinci kebudayaan kedalam tiga wujud dari keseluruhan
hasil budi dan karya manusia, yaitu:

Pertama, sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Kedua, sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan manusia dalam masyarakat, dan ketiga, sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Secara sosiologis kebudayaan dipandang sebagai bentuk keanekaragaman
keinginan/kehendak dan perilaku masyarakat dalam rangka mencari kepuasan dan
keseimbangan sosial-kulturalnya. Sebab sosiologi memperhatikan sifat dan ciri kehidupan
bersama (masyarakat), yaitu interaksi dan relasi sosial yang dilembagakan. Menurut
Koentjoroningrat (1964), bahwa secara universal terdapat tujuh unsur kebudayaan yang
terdapat pada semua bangsa di dunia, yaitu:

  1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transportasi, dsb.)

  2. Mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistim produksi,sistim distribusi).

  3. Sistim kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistim hukum, sistim perkawinan).

  4. Bahasa (lisan maupun tertulis).

  5. Kesenian seni rupa, seni suara, seni gerak.

  6. Sistim pengetahuan.

  7. Religi.


Dengan melihat begitu kompleksnya konsep kebudayaan sebagaimana dipaparkan di atas,
maka dalam kesempatan ini tidak mungkin dapat disampaikan secara keseluruhan,
karena terbatasnya waktu, pengetahuan dan disiplin ilmu yang ada. Oleh karena itu
dengan tidak mengurangi rasa hormat atau mengesampingkan segi kelengkapan argumen,
serta harapan penyelenggara, maka dalam kajian "Karakteristik Adat Budaya Lampung
sebagai Masyarakat Muslim, perlu pembatasan ruang lingkup kebudayaan dari segi
sistem kemasyarakatan saja sesuai dengan disiplin yang kami miliki. Sistem
kemasyarakatan mana yang menyangkut nilai-nilai kekerabatan dan pandangan hidup
masyarakat setempat, khususnya masyarakat muslim daerah lampung.

Bagi masyarakat lampung pada umumnya, pandangan hidup yang mencolok sebagai
standar budaya adalah Pi'il Pesenggiri. Pi'il Pesenggiri dapat diartikan sebagai
kehormatan diri, malu bersalah, perasaan berharga atau harga diri. Untuk menjaga
harga diri ini agar tetap terhormat, maka pribadi-pribadi dalam pergaulannya senantiasa
dituntut untuk dapat bersikap dan berperilaku yang benar, baik, terpuji sesuai dengan
harapan masyarakat. Pi'il Pesenggiri mengandung nilai kehendak dan harapan yang diukur
dari kebenaran, kebaikan dan kepantasan menurut diri sendiri dan menurut orang lain. Yang
penting adalah bahwa niat dan perbuatannya benar-benar dapat dirasakan sebagai
sesuatu yang memang sudah seharusnya (Makalah : Kebudayaan Daerah setempat
sangat berarti bagi Pembentukan Jatidiri Bangsa, 1996).

Menurut Hilman Hadikesuma (1977), Pi'il artinya pendirian, perasaan, sikap; Pi'il
Pesenggiri ialah rasa harga diri, rasa malu dengan orang lain. Karena Pi'il seseorang sering
mengasingkan diri dari kaum kerabat untuk berusaha, mencari pengetahuan dan
pengalaman, sehingga pada suatu saat ia muncul kembali dengan membawa nama
baik (keberhasilan). Elemen-elemen adat budaya yang berkaitan erat dengan Pi'il
Pesenggiri dalam praktek kehidupan masyarakat, diantaranya ialah Juluk-adek, Nemuinyimah, Nengah-nyappur, dan Sakay-sambayan. Elemen-elemen adat budaya inilah yang akan dikaji dalam rangka menjelaskan dan menarik benang merah Pi'il Pesenggiri
sebagai karakteristik masyarakat muslim lampung.

ADAT BUDAYA LAMPUNG SEBAGAI MASYARAKAT MUSLIM

Secara umum kita mengakui bahwa masyarakat lampung memiliki karakteristik adat
budaya tersendiri. Karakteristik adat budaya yang khas bagi masyarakat lampung itu
tertuang dalam prinsip Pi'il Pesenggiri (kehormatan, harga diri, perasaan malu bersalah
atau jika tak mampu berprestasi). Komponen penunjang yang ingin dipertahankan dalam
Pi'il Pesenggiri ini ada beberapa prinsip hidup lainnya yang saling menunjang, yaitu:
bejuluk-buadek (bergelar adat atau bernama dan bergelar), memui-nyimah (ramah dan
terbuka/peduli), nengah-nyappur (bermasyarakat dan bergaul), dan sakay-sambayan
(tolong menolong).

Pi'il Pesenggiri merupakan elemen adat budaya yang mengandung nilai positif. Pi'il
Pesenggiri mengandung keutamaan prinsip dan kedudukan terhormat dalam kehidupan
masyarakat. Masyarakat lampung pada dasarnya mendambakan kedudukan yang terhormat, prestasi yang gemilang, menilai harga diri dari segi moral dan bukan perhitungan
ekonomis. Untuk mempertahankan dan meningkatkan kehormatan dan harga diri, maka
berarti masyarakat lampung mempunyai sumber daya yang besar dalam upaya
menjauhkan diri dari segala sikap dan perbuatan yang tercela atau melanggar ketentuan
yang berlaku.

Bagi masyarakat muslim lampung prinsip Pi'il Pesenggiri dilandasi oleh nilai
dan hukum Islam. Dalam Surat Ali 'Imran Ayat 104 dijelaskan bahwa "Dan hendaklah ada
diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang
ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung". Hal ini
tidak bisa disangkal lantaran memang masyarakat lampung 100 persen beragama Islam.
Oleh karena itu Prinsip Pi'il Pesenggiri senantiasa dipertahankan, diterapkan dan
diaktualisasikan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan organisasiorganisasi formal.

Dalam Sosiologi nilai-nilai kehormatan itu tercermin dalam stratifikasi sosial yang
terbentuk oleh karena ada yang dibanggakan. Apa yang dibanggakan itu terbatas,
sedikit pemilik/penganutnya dan dibutuhkan, sehingga seseorang atau golongan tertentu
terpola pada strata teratas dalam kehidupan masyarakat. Sumber kehormatan itu bisa
karena luas pemilikan, status sosial budaya, kesolehan beragama, pendidikan dan lainlain
(Abdul Syani, 1994).

Menjaga kehormatan dalam pergaulan kemasyarakatan dengan selalu berlomba berbuat
kebaikan dan kebenaran yang bermanfaat sesuai dengan nilai-nilai budaya yang tercermin
dalam konsep Pi'il Pesenggiri. Hal ini dapat dilihat dari nilai dari salah satu kehormatan
wanita adalah kalau ia mampu menutup auratnya, bukan justeru membukanya agar
banyak mendapat perhatian. Seorang pria atau wanita seharusnya menjaga dirinya agar
tidak kejanguh (kelihatan auratnya=Kalianda). Dalam Pasal 80 Kuntara Raja Niti dijelaskan
bahwa "Jika ada pria atau wanita yang kesunguh (kejanguh), maka baik yang kesunguh
maupun yang melihat aurat itu didenda 12 rial ke bawah menurut kedudukan orangnya".
Penegakan wibawa pemerintah atau hukum, berarti setiap pejabat yang bersalah mesti
diadili lewat saluran hukum yang berlaku, bukan justeru menyembunyikan kesalahan
demi kehormatan. Dalam Kuntara Raja Niti Pasal 161 (Ps.161 KRN), yang intinya bahwa
apabila seseorang penyimbang menerima suap (sogok) agar merahasiakan perbuatan
tertentu, maka atas kesalahan itu ia di hukum denda 24 rial.

Norma-norma yang berisikan keharusan, larangan, anjuran dan kebolehan dapat
digunakan sebagai standar perilaku untuk dapat mempertahankan kehormatan diri dari
perbuatan tercela dalam setiap usaha membangun karya-karya, memenuhi kepenting-an
hudup keluarga, dan berbagai perjuangan cita-cita lainnya. Bersaing secara jujur, tidak
menginjak yang lain, berprofesi dengan landasan moral dan kebenaran merupakan prinsip
hidup bagi orang-orang muslim. Lebih baik bekerja sampingan sebagai sales dari pada
harus menghalalkan segala cara demi status dan kemasyhuran nama. Dengan demikian
berarti Pi'il Pesenggiri pada hakekatnya telah menunjukkan apa yang disebut sebagai
karakteristik adat budaya masyarakat lampung pada umumnya. Sebagai warga masyarakat
lampung yang dilahirkan dalam lingkungan adat dan pergaulan yang sarat dengan nilainilai
ke-Islaman yang senantiasa berjuang demi kehormatan dan nama baik, merupakan
karakteristik yang khas sebagai masyarakat muslim. Jika Pi'il Pesenggiri tersebut dilihat
dari keseluruhan selaras dengan ajaran Islam dan sistem kemasyarakatan masyarakat
Lampung pada umumnya. Pi'il Pesenggiri berkaitan erat dengan elemen-elemen adat
budaya lainnya. Popularitas karakteristik adat budaya itu akan lebih tegas dan spesifik, jika
dalam kiprahnya disertai oleh potensi elemen-elemen pendukungnya.

Dalam hubungannya dengan elemen adat budaya bejuluk-buadek, dasar Pi'il pribadi
harus mampu mempertahankan nama baik, status gelar adat yang diterima sesuai dengan
fungsinya dalam kehidupan masyarakat adat. Jika ia telah dinobatkan sebagai Suttan,
Pangeran, Raja, Ratu, Radin, Dalom, Batin, Minak, dan sebagainya, maka konsekuensi bagi
penyandangnya adalah harus mampu memberikan teladan positif kepada masyarakat. Ada
tiga prinsip kepemimpinan Pancasila yang mesti dimiliki oleh para pemimpin (Abdul Syani,
1987) yaitu: (1) Ing Ngarso Sung Tulodo (didepan memberi contoh), bahwa seorang
pemimpin harus mampu melalui sikap dan perilakunya menjadikan dirinya sebagai pola
anutan orang-orang yang dipimpinnya. (2) Ing Madya Mangun Karso (di tengah
membangun semangat), bahwa seorang pemimpin harus mampu membangkitkan
semangat berswakarsa dan berkreasi pada orang-orang yang dibimbingnya. (3) Tut Wuri
Handayani (di belakang memberi pengaruh), bahwa seorang pemimpin harus mampu
mendorong orang-orang yang diasuhnya agar berani berjalan di depan dan sanggup
bertanggungjawab.

Standard nilai dan hukum yang melandasinya adalah adat budaya yang berakar dari prinsip
hukum Islam. Sebagai orang muslim dalam setiap tindakannya dalam usaha atau
pergaulannya sehari-hari tentu berpedoman pada azas moral islami, yaitu
mengutamakan kemanfaatan, kejujuran, kebaikan, kebenaran dan tanggungjawab. Orang
kaya muslim, pejabat muslim, cendekiawan muslim dan masyarakat muslim pada umumnya
sudah seharusnya menggunakan kelebihannya itu untuk membangun dan membela
kebenaran. Pada dasarnya tanggungjawab bagi orang kaya, para pemimpin atau orang
yang memiliki strata nilai tertentu jauh lebih besar daripada orang miskin dan masyarakat
bersahaja. Jauh lebih baik rakyat bersahaja dan rendah tapi bermoral tinggi, daripada
pejabat tinggi tapi rendah moralnya.

Dengan kemampuan menjaga nama baik, bebarti segaligus merupakan kemampuan
menjaga Pi'ilnya. Bejuluk-buadek secara ideal melekat pada pribadi sebagai identitas
dengan kadar yang tercermin dalam setiap perilaku dan pergaulannya dalam masyarakat.
Jika identitas pribadi dapat dipelihara, dikembangkan dan diterapkan penuh dengan rasa
tanggungjawab dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, maka berarti karakteristik masyarakat lampung adalah mengutamakan kelestarian nama baiknya, jauh dari cela dan nista sebagaimana digariskan dalam agama islam. Karakteristik yang khas ini dapat dijadikan modal dasar yang penting bagi upaya pembentukan jatidiri bangsa. Ada delapan unsur semangat keimanan yang wajib diamalkan dalam kehidupan ini, yaitu: (1) Tauhid (takut Kepada Tuhan), (2) bermoral (berakhlaq baik), (3) hormat kepada orang tua, (4) tulus/ikhlas, (5) berilmu yang bermanfaat, (6) mampu mengendalikan nafsu, (7)
berpendirian (jatidiri), dan (8) keteladanan dalam perbuatan.

Jika dikaitkan dengan prinsip Nemui-nyimah (ramah-terbuka), berarti pribadi-pribadi
sebagai anggota masyarakat lampung memiliki tanggungjawab dan keharusan untuk dapat
mempertahankan, meningkat sikap dan perilaku ramah tamah, terbuka, pemurah, sopan,
sukarela, ikhlas dari lubuk hati yang dalam terhadap setiap tamu atau siapa saja yang
bertemu. Kepada siapa saja yang disebut tamu, kawan dekat atau pihak-pihak yang
memerlukan informasi harus dilayani dengan ramah dan berusaha agar orang lain
mendapatkan kepuasan dan senang hati. Tujuan dari pemenuhan tanggungjawab ini
tidak lain adalah untuk mempertahankan Pi'ilnya, karena salah satu ciri orang lampung
yang mempunyai Pi'il adalah jika ia mampu memelihara keramah-tamahannya ditengahtengah pergaulan masyarakat. Hal ini pertanda bahwa potensi karakteristik adat budaya masyarakat lampung pada umumnya terletak pada keramah-tamahannya, baik dalam menerima tamu maupun dalam pergaulan.

Nemui-nyimah, jika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari secara konsekuen, dan tidak
hanya sekedar basa-basi belaka, maka konflik dapat dihindari, sehingga stabilitas sosial,
kerukunan pergaulan dan ketenteraman masyarakat dapat lebih terjamin. Keramahtamahan
sebagaimana prinsip elemen budaya lainnya yang pada umumnya diaktualisasikan melalui tatacara pergaulan menurut hukum Islam. Dengan demikian berarti karakteristik adat budaya keramah-tamahan masyarakat lampung secara nyata mencerminkan pola kehidupan masyarakat muslim.

Nengah-nyappur (bermasyarakat dan bergaul), juga merupakan salah satu elemen yang
tidak kalah pentingnya untuk dipertahankan, jika pribadi atau masyarakat lampung hendak
dikatakan mempunyai Pi'il atau kehormatan. Masyarakat lampung yang memiliki Pi'il
dapat dilihat dari luasnya cabang hubungan pergaulannya dalam masyarakat. Semakin
luas pergaulannya, kesukaan bermasyarakat, kesukaan berbaur dengan segala kegiatan
masyarakat yang positif, maka semakin besar kemampuannya dalam bekerjasama,
semakin memiliki tenggangrasa (teposeliro= jawa) yang tinggi terhadap sesamanya.

Pergaulan yang luas dapat juga melahirkan dan menumbuh-kembangkan rasa
tanggungjawab, dan mampu bermusyawarah dalam rangka mencari kesepakatan
bersama. Orang-orang yang suka bermusyawarah merupakan sosok dambaan bagi
masyarakat, karena dianggap dapat maju/tampil dalam setiap acara atau aktivitas, dapat
menyelesaikan masalah-masalah sosial secara adil dan bijaksana. Kemampuan dalam
nengah-nyappur dapat membangun simpati masyarakat, yang berarti sekaligus
mendudukannya sebagai orang populer dan keharuman nama baik. Orang-orang yang
mempunyai popularitas dan keharuman nama ini dapat dikategorikan sebagai orangorang
yang memiliki Pi'il Pesenggiri.

Menurut ajaran Islam, bermasyarakat dan bergaul dalam rangka silaturahmi serta mempersambungkan tali persahabatan merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Hal ini berarti karakteristik adat budaya lampung pada dasarnya mencerminkan kehidupan masyarakat muslim yang khas, yaitu suka bermasyarakat, suka bergaul dan tidak suka mengisolir diri. Jika karakteristik adat budaya yang bernafaskan ke-Islaman ini dapat dipertahankan dan disesuaikan dengan kemajuan masyarakat, maka masyarakat lampung dapat lebih adaptif dan innovatif terhadap setiap perubahan dan kemajuan teknologi. Dengan nengah-nyappur ini dapat diteladani oleh sebagian besar masyarakat daerah di Indonesia sebagai upaya pembentukan karakteristik adat budaya nasional.

Elemen adat budaya Sakay-sambayan yang berarti suka tolong menolong terhadap
sesama merupakan wujud kebersamaan dalam senang dan susah. Tolong menolong ini
biasanya dilakukan dalam kegiatan-kegiatan pembangunan sarana umum, pembangunan
rumah, acara-acara adat, pada waktu warga masyarakat terkena musibah, atau dalam
rangka membangun kehidupan masyarakat secara ekonomis. Bentuk tolong menolong
dapat berupa tenaga, uang atau benda yang bernilai ekonomis, peralatan dan perlengkapan, berupa sumbangan pemikiran atau nasehat-nasehat positif yang berguna, baik bagi kepentingan bersama maupun pertolongan yang khusus ditujukan kepada anggota
masyarakat yang sedang dalam kesulitan. Mengajak kerjasama (setikuhan) dalam urusan
pembangunan dan kemasyarakatan menunjukkan bahwa orang lain diperhitungkan dan
berguna bagi kelompok atau kerabatnya. Standar nilai yang dipakai dalam pelaksanaan
tolong menolong adalah moral dan keikhlasan (kerelaan) terhadap apa yang diberikan
tanpa mengharapkan imbalan secara tegas sebagaimana perhitungan untung rugi.

Suatu kebanggaan, kehormatan dan kepuasan bagi orang lampung jika ia telah dapat
memberikan sesuatu atau bantuan terhadap orang lain dan kerabatnya. Dengan demikian
berarti menunjukkan bahwa pribadi orang lampung merasa tidak terpandang atau tidak
terhormat apabila ia belum mampu berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan atau
belum mampu memberikan pertolongan yang bermanfaat kepada orang lain yang
membutuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan tolong menolong merupakan bagian
penting atau konsekuensi yang harus dipertahankan dan dikembangkan apabila pribadi
dikehendaki tetap terhormat. Orang yang dihormati oleh masyarakat oleh karena ia suka
membantu atau menolong orang lain adalah pribadi yang tergolong mempunyai Pi'il
Pesenggiri.

Dalam ajaran Islam sakay-sambaian yang terjelma dalam adat budaya masyarakat
Lampung merupakan kewajiban bagi setiap ummat. Prinsip ini sangat besar kontribusinya
bagi pemerataan pembangunan, termasuk program IDT yang diselenggarakan oleh
Pemerintah, juga merupakan wujud nyata dari sakay-sambaian. Tujuannya adalah untuk
memperkecil kesenjangan diberbagai bidang kehidupan, termasuk kesenjangan sosial,
ekonomi dan perlindungan hukum. Aktibvitas tolong menolong ini merupakan karakteristik
adat budaya masyarakat lampung yang bukan hanya sekedar tumbuh dari kebiasaan
berperilaku, akan tetapi sekaligus merupakan kristalisasi dari ajaran agama Islam, sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Maidah Ayat 2, bahwa "Dan bertolong-tolonglah kamu terhadap segala amalan kebajikan dan ketaqwaan kepada Allah, dan janganlah kamu
bertolong-tolongan terhadap perbuatan yang menghasilkan dosa dan permusuhan".

Dengan demikian tolong menolong merupakan ciri khas kepribadian masyarakat muslim lampung yang perlu senantiasa diaktualisa-sikan sebagai kebutuhan pokok dalam kehidupan bermasyarakat.

Mengenai budi bahasa dan titi gematie (titi=jalan, gematie= kelaziman/kebiasaan/adat)
yang artinya sopan santun dan adat-istiadat, adalah salah satu elemen Pi'il Pesenggiri
yang melengkapai elemen-elemen adat budaya yang lain. Ada sebagaian ahli budaya
lampung yang sengaja memisahkan pengertiannya secara tersendiri. Akan tetapi oleh
karena budi bahasa dan titi gematie ini pada prakteknya selalu menyertai pelaksanaan
elemen-elemen adat budaya lainnya seperti Bejuluk-buadek, Nemui-nyimah, Nengahnyappur, dan Sakay-sambayan, maka sebagian ahli budaya tidak menyorotinya secara khusus.

Secara umum budi bahasa dan titi gematie dapat diartikan sebagai kesopanan atau tata
krama yang berisikan kebaikan dan kejujuran yang berpedoman pada kelaziman dan
kepantasan yang berlaku (diakui umum). Bagi orang-orang yang mampu bersopan santun
sesuai dengan kebiasaan yang selama waktu tertentu diakui masyarakat, maka selama itu
pula ia cenderung mudah mendapatkan kedudukan terhormat (menjaga pi'ilnya) ditengahtengah pergaulan masyarakat. Dengan demikian berarti karakteristik adat budaya
masyarakat lampung mengandung harapan kearah kehidupan kemasyarakatan yang
teratur penuh dengan sopan santun (tata krama) yang lues.

Sopan santun menunjukkan pribadi seseorang yang baik, berperasaan dan suka
menghormati orang lain, baik yang sebaya maupun terhadap orang yang lebih tua atau
orang-orang yang patut dihormati. Orang yang memiliki kesopanan dalam bergaul,
cenderung banyak disukai atau mendapatkan perlakuan dan kehormatan/penghargaan
secara timbal balik yang setimpal. Orang lampung percaya bahwa perlakuan baik dan
terhormat dari orang lain akan diperoleh setelah ia menghormati orang lain dengan sopan
santun. Sedangkan titi gematie diwujudkan dalam bentuk kemampuan seseorang dalam
menyesuaikan diri atau menempatkan diri pada porsi atau kedudukannya dalam masyarakat
sesuai dengan kemajuan zaman. Karakteristik adat budaya bersopan-santun yang
tumbuh dalam kehidupan masyarakat lampung ini, bukan lagi sebagai prinsip budaya lokal,
melainkan sudah merupakan kelaziman perilaku setiap suku bangsa di Indonesia
(bahkan dunia) dalam setiap pergaulan dalam masyarakat. Tentu saja perilaku bersopan
santun ini sangat relevan dengan ajaran Islam yang mestinya dikembangkan oleh setiap
muslim dalam kehidupannya dalam masyarakat dan negara. Jika karakeristik adat budaya
masyarakat lampung ini bisa dipertahankan dan disosialisasikan dalam kehidupan
masyarakat modern dan negara berkembang seperti Indonesia, maka adat budaya
lampung sangat potensial dalam meningkatkan nilai kehormatan dan nama baik dalam
skala besar yang mencerminkan kehormatan dan nama baik bangsa Indonesia, dan
bahkan dapat terhormat pula dimata negara-negara dunia.

Pi'il Pesenggiri pada hakekatnya menunjuk pada karakteristik adat budaya masyarakat
lampung pada umumnya. Sebagai warga masyarakat lampung yang dilahirkan dalam
lingkungan adat dan pergaulan yang sarat dengan nilai-nilai ke-Islaman yang senantiasa
berjuang demi kehormatan dan nama baik, merupakan karakteristik yang khas sebagai
masyarakat muslim.

Dalam hubungannya dengan elemen adat budaya bejuluk-buadek, dasar Pi'il pribadi
harus mampu mempertahankan nama baik, status gelar adat yang diterima sesuai dengan
fungsinya dalam kehidupan masyarakat adat. Standard nilai dan hukum yang
melandasinya adalah adat budaya yang berakar dari prinsip hukum Islam. Sebagai orang
muslim dalam setiap tindakannya dalam usaha atau pergaulannya sehari-hari tentu
berpedoman pada azas moral islami, yaitu mengutamakan kemanfaatan, kejujuran,
kebaikan, kebenaran dan tanggungjawab.

Dalam prinsip Nemui-nyimah (ramah-terbuka), pribadi-pribadi sebagai anggota masyarakat
lampung memiliki tanggungjawab dan keharusan untuk dapat mempertahankan, meningkat
sikap dan perilaku ramah tamah, terbuka, pemurah, sopan, sukarela, ikhlas dari lubuk
hati yang dalam terhadap setiap tamu atau siapa saja yang bertemu.

Nengah-nyappur (bermasyarakat dan bergaul), juga merupakan salah satu elemen yang
tidak kalah pentingnya untuk dipertahankan, jika pribadi atau masyarakat lampung hendak
dikatakan mempunyai Pi'il atau kehormatan. Semakin luas pergaulannya, kesukaan
bermasyarakat, kesukaan berbaur dengan segala kegiatan masyarakat yang positif, maka
semakin besar kemampuannya dalam bekerjasama, semakin memiliki tenggangrasa
(teposeliro= jawa) yang tinggi terhadap sesamanya.

Elemen adat budaya Sakay-sambayan yang berarti suka tolong menolong terhadap
sesama merupakan wujud kebersamaan dalam senang dan susah. Suatu kebanggaan,
kehormatan dan kepuasan bagi orang lampung jika ia telah dapat memberikan sesuatu
atau bantuan terhadap orang lain dan kerabatnya.

Mengenai budi bahasa dan titi gematie (titi=jalan, gematie= kelaziman/kebiasaan/adat)
yang artinya sopan santun dan adat-istiadat. Bagi orang-orang yang mampu bersopan
santun sesuai dengan kebiasaan yang selama waktu tertentu diakui masyarakat, maka
selama itu pula ia cenderung mudah mendapatkan kedudukan terhormat (menjaga
pi'ilnya) ditengah-tengah pergaulan masyarakat.

0 komentar:

Posting Komentar

coment