Saat Pemerintahan Kerajaan Islam Sultan Bintoro Demak I (1499)
Kehadiran Syekh Siti Jenar
ternyata menimbulkan kontraversi, apakah benar ada atau hanya tokoh
imajiner yang direkayasa untuk suatu kepentingan politik. Tentang
ajarannya sendiri, sangat sulit untuk dibuat kesimpulan apa pun, karena
belum pernah diketemukan ajaran tertulis yang membuktikan bahwa itu
tulisan Syekh Siti Jenar, kecuali menurut para penulis yang identik
sebagai penyalin yang berakibat adanya berbagai versi. Tapi suka atau
tidak suka, kenyataan yang ada menyimpulkan bahwa Syekh Siti Jenar
dengan falsafah atau faham dan ajarannya sangat terkenal di berbagai
kalangan Islam khususnya orang Jawa, walau dengan pandangan
berbeda-beda.
Pandangan
Syekh Siti Jenar yang menganggap alam kehidupan manusia di dunia
sebagai kematian, sedangkan setelah menemui ajal disebut sebagai
kehidupan sejati, yang mana ia adalah manusia dan sekaligus Tuhan,
sangat menyimpang dari pendapat Wali Songo, dalil dan hadits,
sekaligus yang berpedoman pada hukum Islam yang bersendikan sebagai
dasar dan pedoman kerajaan Demak dalam memerintah yang didukung oleh
para Wali. Siti Jenar dianggap telah merusakketenteraman
dan melanggar peraturan kerajaan, yang menuntun dan membimbing
orang secara salah, menimbulkan huru-hara, merusak kelestarian dan
keselamatan sesama manusia. Oleh karena itu, atas legitimasi dari Sultan
Demak, diutuslah beberapa Wali ke tempat Siti Jenar di suatu daerah
(ada yang mengatakan desa Krendhasawa), untuk membawa Siti Jenar ke
Demak atau memenggal kepalanya. Akhirnya Siti Jenar wafat (ada yang
mengatakan dibunuh, ada yang mengatakan bunuh diri).
|
Akan
tetapi kematian Siti Jenar juga bisa jadi karena masalah politik,
berupa perebutan kekuasaan antara sisa-sisa Majapahit non Islam yang
tidak menyingkir ke timur dengan kerajaan Demak, yaitu antara salah satu
cucu Brawijaya V yang bernama Ki Kebokenongo/Ki Ageng Pengging dengan
salah satu anak Brawijaya V yang bernama Jin Bun/R. Patah yang
memerintah kerajaan Demak dengan gelar Sultan Bintoro Demak I, dimana
Kebokenongo yang beragama Hindu-Budha beraliansi dengan Siti Jenar yang
beragama Islam.
Nama
lain dari Syekh Siti Jenar antara lain Seh Lemahbang atau Lemah Abang,
Seh Sitibang, Seh Sitibrit atau Siti Abri, Hasan Ali Ansar dan Sidi
Jinnar. Menurut Bratakesawa dalam bukunya Falsafah Siti Djenar (1954)
dan buku Wejangan Wali Sanga himpunan Wirjapanitra, dikatakan bahwa saat
Sunan Bonang memberi pelajaran iktikad kepada Sunan Kalijaga di tengah
perahu yang saat bocor ditambal dengan lumpur yang dihuni cacing lembut,
ternyata si cacing mampu dan ikut berbicara sehingga ia disabda Sunan
Bonang menjadi manusia, diberi nama Seh Sitijenar dan diangkat
derajatnya sebagai Wali.
Dalam
naskah yang tersimpan di Musium Radyapustaka Solo, dikatakan bahwa ia
berasal dari rakyat kecil yang semula ikut mendengar saat Sunan Bonang
mengajar ilmu kepada Sunan kalijaga di atas perahu di tengah rawa.
Sedangkan dalam buku Sitijenar tulisan Tan Koen Swie (1922), dikatakan
bahwa Sunan Giri mempunyai murid dari negeri Siti Jenar yang kaya
kesaktian bernama Kasan Ali Saksar, terkenal dengan sebutan Siti Jenar
(Seh Siti Luhung/Seh Lemah Bang/Lemah Kuning), karena permohonannya
belajar tentang makna ilmu rasa dan asal mula kehidupan tidak disetujui
Sunan Bonang, maka ia menyamar dengan berbagai cara secara diam-diam
untuk mendengarkan ajaran Sunan Giri. Namun menurut Sulendraningrat
dalam bukunya Sejarah Cirebon (1985) dijelaskan bahwa Syeh Lemahabang
berasal dari Bagdad beraliran Syi’ah Muntadar yang menetap di Pengging
Jawa Tengah dan mengajarkan agama kepada Ki Ageng Pengging (Kebokenongo)
dan masyarakat, yang karena alirannya ditentang para Wali di Jawa maka
ia dihukum mati oleh Sunan Kudus di Masjid Sang Cipta Rasa (Masjid Agung
Cirebon) pada tahun 1506 Masehi dengan Keris Kaki Kantanaga milik Sunan
Gunung Jati dan dimakamkan di Anggaraksa/Graksan/Cirebon.
Informasi
tambahan di sini, bahwa Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) adalah cucu
Raja Brawijaya V (R. Alit/Angkawijaya/Kertabumi yang bertahta tahun
1388), yang dilahirkan dari putrinya bernama Ratu Pembayun (saudara dari
Jin Bun/R. Patah/Sultan Bintoro Demak I yang bertahta tahun 1499) yang
dinikahi Ki Jayaningrat/Pn. Handayaningrat di Pengging. Ki Ageng
Pengging wafat dengan caranya sendiri setelah kedatangan Sunan Kudus
atas perintah Sultan Bintoro Demak I untuk memberantas pembangkang
kerajaan Demak. Nantinya, di tahun 1581, putra Ki Ageng Pengging yaitu
Mas Karebet, akan menjadi Raja menggantikan Sultan Demak III (Sultan
Demak II dan III adalah kakak-adik putra dari Sultan Bintoro Demak I)
yang bertahta di Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijoyo Pajang I.
Keberadaan
Siti Jenar diantara Wali-wali (ulama-ulama suci penyebar agama Islam
yang mula-mula di Jawa) berbeda-beda, dan malahan menurut beberapa
penulis ia tidak sebagai Wali. Mana yang benar, terserah pendapat masing-masing. Sekarang mari kita coba menyoroti falsafah/faham/ajaran Siti Jenar.
Konsepsi
Ketuhanan, Jiwa, Alam Semesta, Fungsi Akal dan Jalan Kehidupan dalam
pandangan Siti Jenar dalam buku Falsafah Siti Jenar tulisan Brotokesowo
(1956) yang berbentuk tembang dalam bahasa Jawa, yang sebagian merupakan
dialog antara Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging, yaitu kira-kira:
- Siti Jenar yang mengaku mempunyai sifat-sifat dan sebagai dzat Tuhan, dimana sebagai manusia mempunyai 20 (dua puluh) atribut/sifat yang dikumpulkan di dalam budi lestari yang menjadi wujud mutlak dan disebut dzat, tidak ada asal-usul serta tujuannya;
- Hyang Widi sebagai suatu ujud yang tak tampak, pribadi yang tidak berawal dan berakhir, bersifat baka, langgeng tanpa proses evolusi, kebal terhadap sakit dan sehat, ada dimana-mana, bukan ini dan itu, tak ada yang mirip atau menyamai, kekuasaan dan kekuatannya tanpa sarana, kehadirannya dari ketiadaan, luar dan dalam tiada berbeda, tidak dapat diinterpretasikan, menghendaki sesuatu tanpa dipersoalkan terlebih dahulu, mengetahui keadaan jauh diatas kemampuan pancaindera, ini semua ada dalam dirinya yang bersifat wujud dalam satu kesatuan, Hyang Suksma ada dalam dirinya;
- Siti Jenar menganggap dirinya inkarnasi dari dzat yang luhur, bersemangat, sakti, kebal dari kematian, manunggal dengannya, menguasai ujud penampilannya, tidak mendapat suatu kesulitan, berkelana kemana-mana, tidak merasa haus dan lesu, tanpa sakit dan lapar, tiada menyembah Tuhan yang lain kecuali setia terhadap hati nurani, segala sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah;
- Segala sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah, maha suci, sholat 5 (lima) waktu dengan memuji dan dzikir adalah kehendak pribadi manusia dengan dorongan dari badan halusnya, sebab Hyang Suksma itu sebetulnya ada pada diri manusia;
- Wujud lahiriah Siti jenar adalah Muhammad, memiliki kerasulan, Muhammad bersifat suci, sama-sama merasakan kehidupan, merasakan manfaat pancaindera;
- Kehendak angan-angan serta ingatan merupakan suatu bentuk akal yang tidak kebal atas kegilaan, tidak jujur dan membuat kepalsuan demi kesejahteraan pribadi, bersifat dengki memaksa, melanggar aturan, jahat dan suka disanjung, sombong yang berakhir tidak berharga dan menodai penampilannya;
- Bumi langit dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia, jasad busuk bercampur debu menjadi najis, nafas terhembus di segala penjuru dunia, tanah dan air serta api kembali sebagai asalnya, menjadi baru;
Dalam buku Suluk Wali Sanga tulisan R. Tanojo dikatakan bahwa :
- Tuhan itu adalah wujud yang tidak dapat di lihat dengan mata, tetapi dilambangkan seperti bintang bersinar cemerlang yang berwujud samar-samar bila di lihat, dengan warna memancar yang sangat indah;
- Siti Jenar mengetahui segala-galanya sebelum terucapkan melebihi makhluk lain ( kawruh sakdurunge minarah), karena itu ia juga mengaku sebagai Tuhan;
- Sedangkan mengenai dimana Tuhan, dikatakan ada di dalam tubuh, tetapi hanya orang terpilih (orang suci) yang bisa melihatnya, yang mana Tuhan itu (Maha Mulya) tidak berwarna dan tidak terlihat, tidak bertempat tinggal kecuali hanya merupakan tanda yang merupakan wujud Hyang Widi;
- Hidup itu tidak mati dan hidup itu kekal, yang mana dunia itu bukan kehidupan (buktinya ada mati) tapi kehidupan dunia itu kematian, bangkai yang busuk, sedangkan orang yang ingin hidup abadi itu adalah setelah kematian jasad di dunia;
- Jiwa yang bersifat kekal/langgeng setelah manusia mati (lepas dari belenggu badan manusia) adalah suara hati nurani, yang merupakan ungkapan dari dzat Tuhan dan penjelmaan dari Hyang Widi di dalam jiwa dimana raga adalah wajah Hyang Widi, yang harus ditaati dan dituruti perintahnya.
Dalam buku Bhoekoe Siti Djenar karya Tan Khoen Swie (1931) dikatakan bahwa :
- Saat diminta menemui para Wali, dikatakan bahwa ia manusia sekaligus Tuhan, bergelar Prabu Satmata;
- Ia menganggap Hyang Widi itu suatu wujud yang tak dapat dilihat mata, dilambangkan seperti bintang-bintang bersinar cemerlang, warnanya indah sekali, memiliki 20 (dua puluh) sifat (antara lain : ada, tak bermula, tak berakhir, berbeda dengan barang yang baru, hidup sendiri dan tanpa bantuan sesuatu yang lain, kuasa, kehendak, mendengar, melihat, ilmu, hidup, berbicara) yang terkumpul menjadi satu wujud mutlak yang disebut DZAT dan itu serupa dirinya, jelmaan dzat yang tidak sakit dan sehat, akan menghasilkan perwatakan kebenaran, kesempurnaan, kebaikan dan keramah-tamahan;
- Tuhan itu menurutnya adalah sebuah nama dari sesuatu yang asing dan sulit dipahami, yang hanya nyata melalui kehadiran manusia dalam kehidupan duniawi.
Menurut
buku Pantheisme en Monisme in de Javaavsche tulisan Zoetmulder,
SJ.(1935) dikatakan bahwa Siti Jenar memandang dalam kematian terdapat
sorga neraka, bahagia celaka ditemui, yakni di dunia ini. Sorga neraka
sama, tidak langgeng bisa lebur, yang kesemuanya hanya dalam hati saja,
kesenangan itu yang dinamakan sorga sedangkan neraka, yaitu sakit di
hati. Namun banyak ditafsirkan salah oleh para pengikutnya, yang
berusaha menjalani jalan menuju kehidupan (ngudi dalan gesang) dengan
membuat keonaran dan keributan dengan cara saling membunuh, demi
mendapatkan jalan pelepasan dari kematian.
Siti
Jenar yang berpegang pada konsep bahwa manusia adalah jelmaan dzat
Tuhan, maka ia memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan
mikrokosmos. Manusia terdiri dari jiwa dan raga yang mana jiwa sebagai
penjelmaan dzat Tuhan dan raga adalah bentuk luar dari jiwa dengan
dilengkapi pancaindera maupun berbagai organ tubuh. Hubungan jiwa dan
raga berakhir setelah manusia mati di dunia, menurutnya sebagai lepasnya
manusia dari belenggu alam kematian di dunia, yang selanjutnya manusia
bisa manunggal dengan Tuhan dalam keabadian.
Siti
Jenar memandang bahwa pengetahuan tentang kebenaran Ketuhanan diperoleh
manusia bersamaan dengan penyadaran diri manusia itu sendiri, karena
proses timbulnya pengetahuan itu bersamaan dengan proses munculnya
kesadaran subyek terhadap obyek (proses intuitif). Menurut Widji Saksono
dalam bukunya Al-Jami’ah (1962) dikatakan bahwa wejangan pengetahuan
dari Siti jenar kepada kawan-kawannya ialah tentang penguasaan hidup,
tentang pintu kehidupan, tentang tempat hidup kekal tak berakhir di
kelak kemudian hari, tentang hal mati yang dialami di dunia saat ini dan
tentang kedudukannya yang Mahaluhur. Dengan demikian tidaklah salah
jika sebagian orang ajarannya merupakan ajaran kebatinan dalam artian
luas, yang lebih menekankan aspek kejiwaan dari pada aspek lahiriah,
sehingga ada juga yang menyimpulkan bahwa konsepsi tujuan hidup manusia
tidak lain sebagai bersatunya manusia dengan Tuhan (Manunggaling
Kawula-Gusti).
Dalam
pandangan Siti Jenar, Tuhan adalah dzat yang mendasari dan sebagai
sebab adanya manusia, flora, fauna dan segala yang ada, sekaligus yang
menjiwai segala sesuatu yang berwujud, yang keberadaannya tergantung
pada adanya dzat itu. Ini dibuktikan dari ucapan Siti Jenar bahwa
dirinya memiliki sifat-sifat dan secitra Tuhan/Hyang Widi.
Namun
dari berbagai penulis dapat diketahui bahwa bisa jadi benturan
kepentingan antara kerajaan Demak dengan dukungan para Wali yang merasa
hegemoninya terancam yang tidak hanya sebatas keagamaan (Islam), tapi
juga dukungan nyata secara politis tegaknya pemerintahan Kesultanan di
tanah Jawa (aliansi dalam bentuk Sultan mengembangkan kemapanan politik
sedang para Wali menghendaki perluasan wilayah penyebaran Islam).
Dengan
sisa-sisa pengikut Majapahit yang tidak menyingkir ke timur dan
beragama Hindu-Budha yang memunculkan tokoh kontraversial beserta
ajarannya yang dianggap "subversif" yaitu Syekh Siti Jenar (mungkin
secara diam-diam Ki Kebokenongo hendak mengembalikan kekuasaan politik
sekaligus keagamaan Hindu-Budha sehingga bergabung dengan Siti jenar).
Bisa
jadi pula, tragedi Siti Jenar mencerminkan perlawanan kaum pinggiran
terhadap hegemoni Sultan Demak yang memperoleh dukungan dan legitimasi
spiritual para Wali yang pada saat itu sangat berpengaruh. Disini
politik dan agama bercampur-aduk, yang mana pasti akan muncul pemenang,
yang terkadang tidak didasarkan pada semangat kebenaran.
Kaitan
ajaran Siti Jenar dengan Manunggaling Kawula-Gusti seperti dikemukakan
di atas, perlu diinformasikan di sini bahwa sepanjang tulisan mengenai
Siti Jenar yang diketahui, tidak ada secara eksplisit yang menyimpulkan
bahwa ajarannya itu adalah Manunggaling Kawula-Gusti, yang merupakan
asli bagian dari budaya Jawa. Sebab Manunggaling Kawula-Gusti khususnya
dalam konteks religio spiritual, menurut Ir. Sujamto dalam bukunya
Pandangan Hidup Jawa (1997), adalah pengalaman pribadi yang bersifat
"tak terbatas" (infinite) sehingga tak mungkin dilukiskan dengan kata
untuk dimengerti orang lain. Seseorang hanya mungkin mengerti dan
memahami pengalaman itu kalau ia pernah mengalaminya sendiri.
Dikatakan
bahwa dalam tataran kualitas, Manunggaling Kawula-Gusti adalah tataran
yang dapat dicapai tertinggi manusia dalam meningkatkan kualitas
dirinya. Tataran ini adalah Insan Kamilnya kaum Muslim, Jalma Winilisnya
aliran kepercayaan tertentu atau Satriyapinandhita dalam konsepsi Jawa
pada umumnya, Titik Omeganya Teilhard de Chardin atau
Kresnarjunasamvadanya Radhakrishnan. Yang penting baginya bukan
pengalaman itu, tetapi kualitas diri yang kita pertahankan secara
konsisten dalam kehidupan nyata di masyarakat. Pengalaman
tetaplah pengalaman, tak terkecuali pengalaman paling tinggi dalam
bentuk Manunggaling kawula Gusti, yang tak lebih pula dari memperkokoh
laku. Laku atau sikap dan tindakan kita sehari-hari itulah yang paling
penting dalam hidup ini.
Kalau
misalnya dengan kekhusuk-an manusia semedi malam ini, ia memperoleh
pengalaman mistik atau pengalaman religius yang disebut Manunggaling
Kawula-Gusti, sama sekali tidak ada harga dan manfaatnya kalau besok
atau lusa lantas menipu atau mencuri atau korupsi atau melakukan
tindakan-rindakan lain yang tercela. Kisah Dewa Ruci adalah yang
menceritakan kejujuran dan keberanian membela kebenaran, yang tanpa
kesucian tak mungkin Bima berjumpa Dewa Ruci.
Kesimpulannya,
Manunggaling Kawula-Gusti bukan ilmu melainkan hanya suatu pengalaman,
yang dengan sendirinya tidak ada masalah boleh atau tidak boleh, tidak
ada ketentuan/aturan tertentu, boleh percaya atau tidak percaya.
Kita
akhiri kisah singkat tentang Syekh Siti Jenar, dengan bersama-sama
merenungkan kalimat berikut yang berbunyi : "Janganlah Anda mencela
keyakinan/kepercayaan orang lain, sebab belum tentu kalau
keyakinan/kepercayaan Anda itu yang benar sendiri".
0 komentar:
Posting Komentar
coment