Pada
tanggal 19 dan 20 Agustus 1955 di Semarang telah diadakan kongres dari
berpuluh-puluh budaya kebatinan yang ada di berbagai daerah di jawa
dengan tujuan untuk mempersatukan semua organisasi yang ada pada waktu
itu. Kongres berikutnya yang diadakan pada tanggal 7 Agustus tahun
berikutnya di surakarta sebagai lanjutannya, dihadiri oleh lebih dari
2.000 peserta yang mewakili 100 organisasi. Pertemuan-pertemuan itu
berhasil mendirikan suatu organisasi bernama Badan Kongres Kebatinan
Indonesia (BKKI) (Badan 1956), yang kemudian juga menyelenggarakan dua
kongres serta seminar mengenai masalah kebatinan dalam tahun 1959, 1961
dan 1962 (Pakan 1978:98)
|
Kebanyakan
budaya kebatinan di Jawa awalnya merupakan budaya lokal saja dengan
anggota yang terbatas jumlahnya, yakni tidak lebih dari 200 orang.
budaya seperti itu secara resmi merupakan “aliran kecil”, seperti
Penunggalan, perukunan kawula manembah gusti, jiwa ayu dan pancasila
handayaningratan dari Surakarta; ilmu kebatinan kasunyatan dari
yogyakarta; ilmu sejati dari madiun; dan trimurti naluri majapahit dari
mojokerto dll
Sebagian
kecil dari budaya kebatinan ini biasanya mempunyai anggota tak lebih
dari200 orang naun ada yang beranggotakan lebih dari 1000 orang yang
tersebar di berbagai kota di jawa dan terorganisasi dalam cabang-cabang.
dan lima yang besar adalah hardapusara dari purworejo, susila budi darma (SUBUD) yang asalnya berkembang di semarang, paguyuban ngesti tunggal (pangestu) dari surakarta, paguyuban sumarah dan sapta dari yogyakarta.
Hardapusara
adalah yang tertua diantara kelima gerakan yang terbesar itu, yang
dalam tahun 1895 didirikan oleh Kyai Kusumawicitra, seorang petani desa
kemanukan dekat purworejo. Ia konon menapatkan ilmu dari menerima
wangsit dan ajaran-ajarannya semula disebut kawruh kasunyatan gaib. Para
pengikutnya mula-mula adalah seorang priyayi dari Purworejo dan
beberapa kota lain di daerah bagelan. organisasi ini dahulu pernah
berkembang dan mempunyai cabang-cabangnya di berbagai kota di Jawa
Tengah, Jawa timur, dan juga Jakarta. Jumlah anggotanya konon
sudah mencapai beberpa ribu orang. Ajaran-ajarannya termaktub dalam dua
buah buku ynag oleh para pngikutnya sudah hampir dianggap keramat, yaitu
Buku Kawula Gusti dan Wigati.
Susila budi (SUBUD)
didirikan pada tahun 1925 di semarang, pusatnya sekarang berada di
jakarta. budaya ini tidak mau disebut budaya kebatinan, melainkan
menamakan dirinya “pusat latihan kejiwaan”. Anggota-anggotanya yang
berjumlah beberapa ribu itu tersebar di berbagai kota diseluruh
indonesia dan mempunyai sebanyak 87 cabang di luar negeri. Banyak
dari para pengikutnya adalah orang asia, eropa, australia dan amerika.
Doktrin ajaran organisasi itu dimuat dalam buku berjudul susila budhi
dharma; kecuali itu gerakanan itu juga menerbitkan majalah berkala
berjudul pewarta kejiwaan subud.
Pagguyuban ngesti tunggal,
atau lebih terkenal dengan nama pangestu adalah sebuah budaya kebatinan
lain yang luas jangkauannya. Gerakan ini didirikan oleh Soenarto, yang
di antara tahun 1932 dan 1933 menerima wangsit yang oleh kedua orang
pengikutnya dicatat dan kemudian diterbitkan menjadi buku sasangka
djati.
Pangestu
didirikan di surakarta pada bulan mei 1949, dan anggota-anggotanya yang
kini sudah berjumlah 50.000 orang tersebar di banyak kota di Jawa,
terutama berasal dari kalangan priyayi. Namun anggota yang berasal dari
daerah pedesaan juga banyak yaitu yang tinggal di pemukiman transmigrasi
di sumatera dan kalimantan. Majalah yang dikeluarkan organisasi itu
dwijawara merupakan tali pengikat bagi para anggotanya yang tersebar
itu.
Paguyuban sumarah juga merupakan organisasi besar yang dimulai sabagai suatu gerakan kecil, dengan pemimpinnya bernama R. Ng. Sukirno
Hartono dari Yogyakarta. Ia mengaku menerima wahyu pada tahun 1935.
Pada kahir tahun 1940an gerakan itu mulai mundur, namun berkembang
kembali tahun 1950 di yogyakarta. Jumlah anggotanya kini sudah mencapai
115.000 orang baik yang berasal dari golongan priyayi maupun dari
kelas-kelas masyarakat lain.
Sapta darma
adalah yang termuda dari kelima gerakan kebatinan yang terbesar di
jawa yang didirikan tahun 1955 oleh guru agama bernama Hardjosaputro
yang kemudian mengganti namanya menjadi Panuntun Sri Gutomo. Beliau
berasal dari desa keplakan dekat pare. Berbeda dengan keempat organisasi
yang lain, sapta darma beranggotakan orang-orang dari daerah pedesaan
dan orang-orang pekerja kasar yang tinggal di kota-kota. Walaupun
demikian para pemimpinnya hampir semua priyayi. Buku yang berisi
ajarannya adalah kitab pewarah sapta darma.
Walaupun
budaya kebatinan ada di seluruh daerah di jawa, namun surakarta sebagai
pusat kebudayaan jawa agaknya masih merupakan tempat dimana terdapat
paling banyak organisasi kebatinan yang terpenting. Dalam tahun 1970 ada
13 organisasi kebatinan di sana; lima diantaranya dengan anggota
sebanyak antara 30-70 orabg, tetapi ada satu yang anggotanya sekitar 500
orang dalam tahun 1970. Sepuluh lainnya adalah organisasi-organisasi
yang besar, yang berpusat dikota-kota lain seperti jakarta, yogyakarta,
madiun, kediri dan sebagainya (jong 1973: 10-12)
S.
de jong yang mempelajari budaya kebatinan jawa di jawa tengah,
melaporkan bahwa dalam propinsi jawa tengah saja tercatat sebanyak 286
organisasi kebetinan dalam tahun 1870, dengan kemungkinan bahwa masih
ada organisasi-organisasi kecil lainnya yang tidak terdaftar di sana.
Pengikut-pengikut
terkemuka dari budaya kebatinan, yang diantaranya ada yang berlatar
belakang pendidikan psikologi, biasanya menjelaskan bahwa timbulnya
berbagai budaya itu disebabkan karena sebagian besar orang jawa butuh
mencari hakekat alam semesta, intisari kehidupan dan hakekat Tuhan. Ahli
sosiolagi Selosoemardjan berpendirian bahwa orang jawa pada umumnya
cenderung untuk mencari keselarasan dengan lingkungan dan hati
nuraninya, yang sering dilakukannya dengan sara-sara metafisik.
Mistik Kebatinan
Menurut
pandangan ilmu mistik kebatinan orang jawa, kehidupan manusia merupakan
bagian dari alam semesta secara keseluruhan, dan hanya merupakan bagian
yang sangat kecil dari kehidupan alam semesta yang abadi, dimana
manusia itu seakan-akan hanya berhenti sebentar untuk minum.
Sikap.
Gaya hidup, dan banyak aktivitas sebagai latihan upacara yang harus
diterima dan dilakukan oleh seorang, yang ingin menganut mistik dibawah
pimpinan guru dan panuntun agama itu, pada dasarnya sama pada berbagai
gerakan kebatinan jawa yang ada. Hal yang mutlak perlu adalah kemampuan
untuk melepaskan diri dari dunia kebendaan, yaitu memiliki sifat rila
(rela) untuk melepaskan segala hak milik, pikiran atau perasaan untuk
memiliki, serta keinginan untuk memiliki.. melalui sikap rohaniah ini
orang dapat membebaskan diri dari berbagai kekuatan serta pengaruh dunia
kebendaan di sekitarnya. Sikap menyerah serta mutlak ini tidak boleh
dianggap sebagai tanda sifat lemahnya seseorang; sebaliknya ia
menandakan bahwa orang seperti itu memiliki kekuatan batin dan keteguhan
iman. Kemampuan untuk membebaskan diri dari dunia kebendaan dan
kehidupan duniawi juga melibatkan sikap narima yaitu sikap menerima
nasib, dan sikap bersabar, yang berarti sikap menerima nasip dengan
rela. Kemampuan untuk memiliki sikap-sikap semacam itu dapat diperoleh
dengan hidup sederhana dalam arti yang sesungguhnya, hidup bersih,
tetapi juga dengan jalan melakukan berbagai kegiatan upacara kegiatan
upacara yang meningkatkan kemampuan berkonsentrasi dengan jalan
mengendalikan diri, dan melakukan berbagai latihan samadi. Melalui
latihan bersemedi di harapkan agar orang dapat membebaskan dirinya dari
keadaan sekitarnya, yaitu menghentikan segala fungsi tubuh dan keinginan
serta nafsu jasmaninya. Hal ini dapat memberikan keheningan pikiran dan
membuatnya mengerti dan menghayati hakekat hidup serta keselarasan
antara kehidupan rohaniah dan jasmaniah. Apabila orang sudah bebas dari
beban kehidupan duniawi (pamudharan), maka orang itu setelah melalui
beberapa tahap berikutnya, pada suatu saat akan dapat bersatu dengan
Tuhan (jumbuhing kawula Gusti, atau manunggaling
kawula-Gusti)/Pendekatan kepada Illahi.
Namun
dengan tercapainya pamudharan, yang memungkinkan orang untuk melepaskan
diri dari kehidupan dunia kebendaan, orang itu juga tidak terbebas dari
kewajiban-kewajibannya dalam kehidupan yang konkret; bahkan, orang yang
sudah mencapai pamudharan, wajib amemayu ayuning bawana, atau berupaya
memperindah dunia, yaitu berusaha memelihara dan memperindah dengan
jalan melakukan hal-hal yang baik, dan hidup dengan penuh tanggung
jawab.
Gerakan Untuk Purifikasi Jiwa
Semua
organisasi kebatinan yang besar, kecuali SUBUD, memang bersifat mistik;
banyak gerakan kebatinan, terutama yang jumlah anggotanya sedikit,
hanya berusaha untuk mencapai purifikasi jiwa, tanpa mempunyai tujuan
untuk bersatu dengan Tuhan. Hal yang mereka inginkan hanyalah memperoleh
suatu kehidupan kerohanian yang mantap, tanpa rasa takut dan rasa
ketidak-pastian. Inilah yang oleh orang jawa disebut orang yang sudah
“bebas” (kamanungsan, kasunyatan). Cara untuk
kamanungsan pada umumnya sama dengan cara untuk mencapai pamudharan
tersebut diatas. Kecuali beberapa variasi kecil, maka cara untuk
mencapai purifikasi jiwa pada dasarnya adalah dengan menjalankan
kehidupan yang penuh tanggung jawab, baik secara moral, sederhana, mampu
membebaskan diri dari keduniawian, mempunyai sikap yang baik terhadap
kehidupan, nasib dan kematian dan melakukan samadi secara ketat. Oleh
karena gerakan-gerakan kebatinan ini berusaha mencari kebebasan rohaniah
individu, maka orang mudah mengerti bahwa sifatnya agak individualis;
gerakan-gerakan seperti itu paling tidak menarik bagi orang-orang yang
membutuhkan kehidupan keagamaan, tanpa harus menaati peraturan-peraturan
keagamaan yang resmi secara ketat, namun menyesuaikan dengan adat
istiadat (Said 1972-a: 153-154)
Kebatinan Yang Berdasarkan Ilmu Gaib
Diseluruh
daerah tempat tinggal orang jawa banyak terdapat gerakan-gerakan
kebatinan yang hanya beranggotakan beberapa puluh orang saja. Kebanyakan
dari gerakan seperti itu berpusat di kota-kota dan pada umumnya
bersifat rahasia, yaitu dengan tujuan-tujuan yang bersifat mistik,
moralis, atau etis dan dipimpin oleh seorang guru. Untuk mencapai
tujuannya, para anggota gerakan seperti itu banyak melakukan
praktek-praktek ilmu gaib, disamping studi dan bersamadi.
Banyak
dari budaya semacam itu pada awalnya adalah suatu organisasi yang
mengajar seni bela diri pencak. Kecuali memberi latihan fisik, gurunya
juga melatih murid-muridnya untuk melakukan meditasi. Untuk menciptakan
suasana keramat, ada juga yang ditabah berbagai ritus ilmu gaib secara
rahasia yang dimaksudkan agar para muridnya, memperoleh kekebalan dan
kesaktian tertentu.
0 komentar:
Posting Komentar
coment