Sunan
Kalijaga yang hidup di jaman Kerajaan Islam Demak (sekitar abad 15)
aslinya bernama Raden Said, adalah putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung
Wilatikta/Raden Sahur. Raden Sahur adalah keturunan Ranggalawe yang
beragama Hindu. Sunan Kalijaga diperkenalkan agama Islam oleh guru agama
Kadipaten Tuban sejak kecil.
Melihat
lingkungan sekitar yang kontradiktif dengan kehidupan rakyat jelata
yang serba kekurangan, menyebabkan ia bertanya kepada Ayahnya mengenai
hal tersebut, yang dijawab bahwa itu adalah untuk kepentingan kerajaan
Majapahit yang membutuhkan dana banyak untuk menghadapi pemberontakan.
Maka secara diam-diam ia bergaul dengan rakyat jelata, menjadi pencuri
untuk mengambil sebagian barang-barang di gudang dan membagikan kepada
rakyat yang membutuhkan.
Namun
akhirnya ia ketahuan dan dihukum cambuk 200 (dua ratus) kali
ditangannya dan disekap beberapa hari oleh Ayahnya, yang kemudian ia
pergi tanpa pamit. Mencuri atau merampok dengan topeng ia lakukan, demi
rakyat jelata. Tapi ia tertangkap lagi, yang menyebabkan ia diusir oleh
Ayahnya dari Kadipaten. Iapun tinggal di hutan Jatiwangi dan menjadi
perampok orang kaya, dan berjuluk Brandal Lokajaya. Suatu waktu ia
berjumpa dengan Sunan Bonang, dan dibawa ke Tuban untuk menjadi
muridnya, memperdalam agama Islam. Lalu akhirnya ia menjadi pengembara
yang menyebarkan agama Islam (sebelumnya sempat menemui kedua orang
tuanya), yang dihari tuanya ia tinggal dan meninggal di desa Kadilangu
Demak.
Ia
dikenal sebagai Mubaligh/Da’i keliling, ulama besar, seorang Wali yang
memiliki karisma tersendiri di antara wali-wali yang lain, paling
terkenal di berbagai lapisan masyarakat apalagi kalangan bawah. Ia
disebagian tempat juga dikenal bernama Syekh Malaya. Ia dapat dikatakan
sebagai ahli budaya, misalnya: pengenalan agama secara luwes tanpa
menghilangkan adat-istiadat/kesenian daerah (adat lama yang ia beri
warna Islami), menciptakan baju Taqwa (lalu disempurnakan oleh Sultan
Agung dengan destar nyamping dan keris serta rangkaian lainnya),
menciptakan tembang Dandanggula dan Dandanggula Semarangan, menciptakan
lagu Lir Ilir yang sampai saat ini masih akrab dikalangan sebagian besar
orang Jawa, pencipta seni ukir bermotif daun-daunan, memerintahkan sang
murid bernama Sunan Bayat untuk membuat bedug di Masjid guna
mengerjakan sholat jama’ah.
Acara
ritual berupa Gerebeg Maulud yang asalnya dari tabligh/pengajian akbar
yang diselenggarakan para Wali di Masjid Demak untuk memperingati maulud
nabi, menciptakan Gong Sekaten bernama asli Gong Syahadatain (dua
kalimah syahadat) yang jika dipukul akan berbunyi dan bermakana bahwa
mumpung masih hidup agar berkumpul masuk agama Islam, pencipta Wayang
Kulit diatas kulit kambing, sebagai Dalang (dari kata dalla’ yang
berarti menunjukkan jalan yang benar) wayang kulit dengan beberapa
cerita yang ia senangi yaitu antara lain Jimat Kalimasada dan Dewa Ruci
serta Petruk Jadi Raja dan Wahyu Widayat, serta sebagai ahli tata kota
seperti misalnya pengaturan Istana atau Kabupaten dengan Alun-alun serta
pohon beringin dan masjid.
Sebagai penutup, kami tuliskan teks tembang Lir Ilir, sebagai berikut : Lir ilir lir ilir tandure wis sumilir, Tak ijo royo-royo dak sengguh penganten anyar, Cah angon cah angon penekno
blimbing kuwi, Lunyu-lunyu penekno kanggo masuh dodotiro-dodotiro,
Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir, Domono jlumotono kanggo
seba mengko sore, Mumpung jembar kalangane mumpung padhang rembulane, Yo surako surak horee.
Suka atau tidak suka, pada kenyataannya Sunan Kalijaga dapat dikatakan sebagai gurunya atau dewanya Islam bagi besar orang sebagian Jawa.
0 komentar:
Posting Komentar
coment