KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. Shalawat dan salam semoga
tetap terlimpah curahkan kepada junjunan kita Nabi Muhammad SAW.,
kepada keluarganya, para shahabatnya dan juga kepada kita selaku umatnya
dan mendapatkan syafa`atnya di hari Hisab kelak.
Kami menyadari bahwa daam penulisan makalah ini masih banyak
kekhilafan dan kekurangan, maka dari itu segala saran dan kritik yang
membangun akan kami hargai dan diterima dengan hatu yang mulia.
Namun demikian, kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Akhir kata, kami ucapkan terima kasih.
Suryalaya, Nopember 2010
Penulis
|
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………….. i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………….. ii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………… 1
- Latar Belakang Masalah……………………………………………………………. 1
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………………. 3
- Pengertian Belajar……………………………………………………………………. 3
- Kesulitan Belajar……………………………………………………………………… 5
- Diagnostik Mengatasi Kesulitan belajar………………………………………… 9
- Bimbingan Belajar……………………………………………………………………. 11
- Model Pembelajaran…………………………………………………………………. 13
- Mengatasi Kesulitan Belajar……………………………………………………… 18
- Sasaran dan Langkah-langkah Tindakan Diagnosa………………………. 19
BAB III SIMPULAN DAN SARAN……………………………………………………… 23
- Simpulan ……………………………………………………………………………….. 23
- Saran …………………………………………………………………………………….. 23
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dunia pendidikan mengartikan diagnosis kesulitan belajar sebagai
segala usaha yang dilakukan untuk memahami dan menetapkan jenis dan
sifat kesulitan belajar. Juga mempelajari faktor-faktor yang menyebabkan
kesulitan belajar serta cara menetapkan dan kemungkinan mengatasinya,
baik secara kuratif (penyembuhan) maupun secara preventif (pencegahan)
berdasarkan data dan informasi yang seobyektif mungkin.
Dengan demikian, semua kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk
menemukan kesulitan belajar termasuk kegiatan diagnosa. Perlunya
diadakan diagnosis belajar karena berbagai hal. Pertama, setiap siswa
hendaknya mendapat kesempatan dan pelayanan untuk berkembang secara
maksimal, kedua; adanya perbedaan kemampuan, kecerdasan, bakat, minat
dan latar belakang lingkungan masing-masing siswa. Ketiga, sistem
pengajaran di sekolah seharusnya memberi kesempatan pada siswa untuk
maju sesuai dengan kemampuannya. Dan, keempat, untuk menghadapi
permasalahan yang dihadapi oleh siswa, hendaknya guru beserta BP lebih
intensif dalam menangani siswa dengan menambah pengetahuan, sikap yang
terbuka dan mengasah ketrampilan dalam mengidentifikasi kesulitan
belajar siswa.
Berkait dengan kegiatan diagnosis, secara garis besar dapat
diklasifikasikan ragam diagnosis ada dua macam, yaitu diagnosis untuk
mengerti masalah dan diagnosis yang mengklasifikasi masalah. Diagnosa
untuk mengerti masalah merupakan usaha untuk dapat lebih banyak mengerti
masalah secara menyeluruh. Sedangkan diagnosis yang mengklasifikasi
masalahmerupakan pengelompokan masalah sesuai ragam dan sifatnya. Ada
masalah yang digolongkan kedalam masalah yang bersifat vokasional,
pendidikan, keuangan, kesehatan, keluarga dan kepribadian. Kesulitan
belajar merupakan problem yang nyaris dialami oleh semua siswa.
Kesulitan belajar dapat diartikan suatu kondisi dalam suatu proses
belajar yang ditandai adanya hambatan-hambatan tertentu untuk menggapai
hasil belajar.
Abin Syamsudin Maknum (2002: 307) mengatakan bahwa “Seorang siswa
diduga mengalami kesulitan belajar kalau yang bersangkutan menunjukan
kegagalan”. Sejalan dengan itu Burton (Abin Syamsudin Makmun, 2002: 307)
mengungkapkan bahwa kegagalan belajar didefinisikan sebagai berikut:
- Siswa dikatakan gagal apabila dalam waktu tertentu yang bersangkutan
tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan
minimal dalam pelajaran tertentu, seperti yang telah ditetapkan oleh
guru.
- Siswa dikatakan gagal apabila yang bersangkutan tidak dapat
mengerjakan atau mencapai prestasi yang semestinya (berdasarkan ukuran
tingkat kemampuan, intelegensia, bakat). Ia diramalkan akan dapat
mengerjakannya atau mencapai suatu prestasi, namun ternyata tidak sesuai
dengan kemampuannya.
- Siswa dikatakan gagal apabila yang bersangkutan tidak dapat
mewujudkan tugas-tugas perkembangan termasuk penyesuaian sosial sesuai
dengan pola organismiknya, pada fase perkembangan tertentu seperti yang
berlaku bagi kelompok sosial dan usia yang bersangkutan.
- Siswa dikatakan gagal apabila yang bersangkutan tidak berhasil
mencapai tingkat penguasaan yang diperlukan sebagai prasyarat bagi
kelanjutan pada tingkat pelajaran selanjutnya.
Dalam menyelesaikan soal yang dihadapinya siswa akan terlibat dalam
suatu proses berpikir yang mengharuskan siswa untuk menghubungkan
konsep-konsep dan aturan yang telah diketahui sebelumnya. Hal ini
sejalan dengan definisi pemecahan masalah yang dikemukakan Gagne
(Fannyta, 1999: 7) bahwa “Suatu proses berpikir manusia dalam
menghubungkan konsep-konsep atau aturan-aturan untuk menghasilkan aturan
yang lebih komplek”. Pendapat lainnya dikemukakan oleh Hudoyo (Fannyta,
1999: 4) mengatakan bahwa “Dalam menyelesaikan masalah siswa perlu
dilatih berpikir untuk mendapatkan langkah-langkah penyelesaian secara
terurut, sistematis, dan penarikan kesimpulan yang sah (valid)
berdasarkan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan”.
Pada dasarnya setiap kesulitan belajar selalu berlatar belakang pada
komponen-komponen yang berpengaruh pada proses belajar mengajar itu
sendiri. Burton (Sapuro, 1997: 8) mengelompokkan faktor-faktor penyebab
kesulitan belajar ke dalam dua kategori, yaitu faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang terdapat pada diri
siswa itu sendiri, yang meliputi kelemahan jasmaniah, kelemahan mental,
kelemahan yang disebabkan karena kebiasaan dan sifat yang salah, serta
kurangnya keterampilan dan pengetahuan dasar siswa. Sedangkan faktor
eksternal adalah faktor yang terdapat di luar diri siswa, antara lain
situasi belajar, sikap dan cara mengajar guru, situasi keluarga dan
lingkungan sekolah.
BAB II
PEMBHASAN
- A. Pengertian Belajar
Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan
pada diri seseorang. Winkel (1995: 53) menyatakan bahwa “Belajar adalah
suatu aktivitas mental/psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif
dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam
pengetahuan-pemahaman, keterampilan dan nilai-sikap. Perubahan itu
bersikap secara relatif konstan dan berbekas”.
Berdasarkan psikologi, Usman dan Setiawati (Neti, 2003: 11)
mendefinisikan bahwa “Belajar adalah suatu proses usaha untuk memperoleh
perubahan tingkah laku yang terjadi karena adanya interaksi baik antara
individu dengan individu maupun antara individu dengan lingkungannya”.
Perubahan tingkah laku tersebut meliputi perubahan dalam kebiasaan
(habit), kecakapan-kecakapan
(skills), ataupun dalam tiga aspek yaitu pengetahuan
(kognitif), sikap
(apektif), dan keterampilan
(psikomotor).
Sadirman (1990: 22) menyatakan bahwa “Belajar dimaksudkan sebagai usaha
penguasaan materi ilmu pengetahuan yang merupakan sebagian kegiatan
menuju terbentuknya kepribadian seutuhnya”. Dari definisi di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa belajar akan membawa suatu perubahan tingkah
laku individu-individu yang belajar.
Sejalan dengan hal itu, Sudjana (1989: 6) menyatakan bahwa “Apabila
kita bicara tentang belajar, maka kita bicara tentang cara mengubah
tingkah laku seseorang atau individu melalui berbagai pengalaman yang
ditempuhnya”. Berdasarkan pernyataan di atas belajar dapat dipandang
sebagai proses dalam melihat apa yang terjadi selama siswa mengalami
pembelajaran untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Siswa, guru, dan
tujuan adalah tiga hal penting yang saling terkait selama proses belajar
mengajar berlangsung. Secara skematik (Abin Syamsudin: 155) interrelasi
antara ketiga komponen tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1.
HUBUNGAN ANTARA SISWA, TUJUAN, DAN GURU
Dari gambar di atas, dapat dijelaskan bahwa hubungan antara siswa, tujuan, dan guru adalah sebagai berikut:
- Siswa berusaha mengembangkan dirinya seoptimal mungkin melalui belajar untuk mencapai tujuannya.
- Tujuan merupakan seperangkat tugas atau tuntutan yang
harus dipenuhi atau sistem nilai yang harus tampak dalam perilaku dan
merupakan karakteristik kepribadian siswa yang dapat dievaluasi
(terukur).
- Guru selalu mengusahakan terciptanya situasi yang tepat
(mengajar) sehingga memungkinkan terjadinya proses pengalaman belajar
pada diri siswa dengan mengarahkan segala sumber dan strategi belajar
mengajar yang tepat.
- B. Kesulitan Belajar
Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan
sejumlah karakterisktik siswa yang beraneka ragam. Ada siswa yang dapat
menempuh kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa mengalami
kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit pula siswa yang justru dalam
belajarnya mengalami berbagai kesulitan. Kesulitan belajar siswa
ditunjukkan oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil
belajar, dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis,
sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang
dicapainya berada di bawah semestinya.
Banyak faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar. Menurut
Muhibbin (1995: 173) faktor-faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar
terdiri atas dua macam, yaitu:
- Faktor intern siswa, yaitu hal-hal atau keadaan-keadaan yang muncul
dari dalam diri siswa sendiri yang meliputi gangguan atau
kekurangmampuan psiko-fisik siswa seperti rendahnya kapasitas
intelektual/intelegensi siswa, labilnya emosi dan sikap, serta
terganggunya indera-indera penglihat dan pendengar (mata dan telinga).
- Faktor ekstern siswa, yaitu hal-hal atau keadaan-keadaan yang datang
dari luar diri siswa yang meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan
sekitar yang tidak mendukung aktivitas siswa seperti lingkungan
keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan sekolah.
Guru perlu meneliti faktor-faktor itu agar dapat memberikan diagnosis
dan menganalisis kesulitan-kesulitan itu. Cara untuk mengetahui
kesulitan tersebut Ruseffendi (1991: 467) menyatakan bahwa “Kita dapat
mengetahui kelemahan anak melalui pengamatan guru sehari-hari di dalam
atau di luar kelas, tanya jawab, tes yang dilakukan guru, tes
diagnostik, tes dari buku, tugas-tugas dan semacamnya”. Jika kita ingin
melihat kelemahan anak itu sangat tergantung kepada keterampilan dan
kemampuan guru sendiri, artinya salah satu kemampuan yang harus dimiliki
oleh guru adalah mampu mendiagnosis kesulitan siswa dalam belajar dan
mampu mengadakan pengajaran remidial.
Diagnosis merupakan istilah teknis yang diambil dari bidang medis.
Menurut Thorndike dan Hagen (Abin Syamsudin, 2000: 307), diagnosis
diartikan sebagai:
- Upaya atau proses menemukan kelemahan atau penyakit (weakness, disease) apa yang dialami seseorang dengan melalui pengujian dan studi yang seksama mengenai gejala-gejalanya (symptons).
- Studi yang seksama terhadap fakta tentang suatu hal untuk menemukan
karakteristik atau kelemahan-kelemahan dan sebagainya yang esensial.
- Keputusan yang dicapai setelah dilakukan suatu studi yang seksama atas gejala-gejala atau fakta tentang suatu hal.
Dari pengertian di atas, terlihat bahwa dalam pekerjaan mendiagnosis
bukan hanya mengidentifikasi jenis, karakteristiknya dan latar belakang
dari suatu kelemahan atau penyakit tertentu, melainkan juga
mengimplikasikan suatu upaya untuk meramalkan kemungkinan dan
menyarankan tindakan pemecahannya.
Kesulitan belajar siswa mencakup pengetian yang luas, diantaranya : (a)
learning disorder; (b)
learning disfunction; (c)
underachiever; (d)
slow learner, dan (e)
learning diasbilities. Di bawah ini akan diuraikan dari masing-masing pengertian tersebut.
- Learning Disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan
dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang
bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi
dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau
terhambat oleh adanya respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil
belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya.
Contoh : siswa yang sudah terbiasa dengan olah raga keras seperti
karate, tinju dan sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan dalam
belajar menari yang menuntut gerakan lemah-gemulai.
- Learning Disfunction merupakan gejala dimana proses belajar
yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya
siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan
alat dria, atau gangguan psikologis lainnya. Contoh : siswa yang yang
memiliki postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet
bola volley, namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley,
maka dia tidak dapat menguasai permainan volley dengan baik.
- Under Achiever mengacu kepada siswa yang sesungguhnya
memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal,
tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Contoh : siswa yang telah
dites kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat
unggul (IQ = 130 – 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau
malah sangat rendah.
- Slow Learner atau lambat belajar adalah siswa yang lambat
dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama
dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi
intelektual yang sama.
- Learning Disabilities atau ketidakmampuan belajar mengacu
pada gejala dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar,
sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektualnya.
Bila diamati, ada sejumlah siswa yang mendapat kesulitan dalam mencapai
hasil belajar secara tuntas dengan variasi dua kelompok besar. Kelompok
pertama merupakan sekelompok siswa yang belum mencapai tingkat
ketuntasan, akan tetapi sudah hampir mencapainya. Siswa tersebut
mendapat kesulitan dalam menetapkan penguasaan bagian-bagian yang sulit
dari seluruh bahan yang harus dipelajari.
Kelompok yang lain, adalah sekelompok siswa yang belum mencapai
tingkat ketuntasan yang diharapkan karena ada konsep dasar yang belum
dikuasai. Bisa pula ketuntasan belajar tak bisa dicapai karena proses
belajar yang sudah ditempuh tidak sesuai dengan karakteristik murid yang
bersangkutan. Jenis dan tingkat kesulitan yang dialami oleh siswa tidak
sama karena secara konseptual berbeda dalam memahami bahan yang
dipelajari secara menyeluruh. Perbedaan tingkat kesulitan ini bisa
disebabkan tingkat pengusaan bahan sangat rendah, konsep dasar tidak
dikuasai, bahkan tidak hanya bagian yang sulit tidak dipahami, mungkin
juga bagian yang sedang dan mudah tidak dapat dukuasai dengan baik.
Siswa yang mengalami kesulitan belajar seperti tergolong dalam
pengertian di atas akan tampak dari berbagai gejala yang
dimanifestasikan dalam perilakunya, baik aspek psikomotorik, kognitif,
konatif maupun afektif . Beberapa perilaku yang merupakan manifestasi
gejala kesulitan belajar, antara lain :
- Menunjukkan hasil belajar yang rendah di bawah rata-rata nilai yang
dicapai oleh kelompoknya atau di bawah potensi yang dimilikinya.
- Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan.
Mungkin ada siswa yang sudah berusaha giat belajar, tapi nilai yang
diperolehnya selalu rendah
- Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajarnya dan selalu tertinggal dari kawan-kawannya dari waktu yang disediakan.
- Menunjukkan sikap-sikap yang tidak wajar, seperti: acuh tak acuh, menentang, berpura-pura, dusta dan sebagainya.
- Menunjukkan perilaku yang berkelainan, seperti membolos, datang
terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengganggu di dalam atau
pun di luar kelas, tidak mau mencatat pelajaran, tidak teratur dalam
kegiatan belajar, dan sebagainya.
- Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti : pemurung,
mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi
situasi tertentu. Misalnya dalam menghadapi nilai rendah, tidak
menunjukkan perasaan sedih atau menyesal, dan sebagainya.
Sementara itu, Burton (Abin Syamsuddin. 2003) mengidentifikasi siswa
yang diduga mengalami kesulitan belajar, yang ditunjukkan oleh adanya
kegagalan siswa dalam mencapai tujuan-tujuan belajar. Menurut dia bahwa
siswa dikatakan gagal dalam belajar apabila :
- Dalam batas waktu tertentu yang bersangkutan tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan materi (mastery level) minimal dalam pelajaran tertentu yang telah ditetapkan oleh guru (criterion reference).
- Tidak dapat mengerjakan atau mencapai prestasi semestinya, dilihat
berdasarkan ukuran tingkat kemampuan, bakat, atau kecerdasan yang
dimilikinya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam under achiever.
- Tidak berhasil tingkat penguasaan materi (mastery level) yang diperlukan sebagai prasyarat bagi kelanjutan tingkat pelajaran berikutnya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam slow learner atau belum matang (immature), sehingga harus menjadi pengulang (repeater)
Untuk dapat menetapkan gejala kesulitan belajar dan menandai siswa
yang mengalami kesulitan belajar, maka diperlukan kriteria sebagai batas
atau patokan, sehingga dengan kriteria ini dapat ditetapkan batas
dimana siswa dapat diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Terdapat
empat ukuran dapat menentukan kegagalan atau kemajuan belajar siswa :
(1) tujuan pendidikan; (2) kedudukan dalam kelompok; (3) tingkat
pencapaian hasil belajar dibandinngkan dengan potensi; dan (4)
kepribadian.
1. Tujuan pendidikan
Dalam keseluruhan sistem pendidikan, tujuan pendidikan merupakan
salah satu komponen pendidikan yang penting, karena akan memberikan arah
proses kegiatan pendidikan. Segenap kegiatan pendidikan atau kegiatan
pembelajaran diarahkan guna mencapai tujuan pembelajaran. Siswa yang
dapat mencapai target tujuan-tujuan tersebut dapat dianggap sebagai
siswa yang berhasil. Sedangkan, apabila siswa tidak mampu mencapai
tujuan-tujuan tersebut dapat dikatakan mengalami kesulitan belajar.
Untuk menandai mereka yang mendapat hambatan pencapaian tujuan
pembelajaran, maka sebelum proses belajar dimulai, tujuan harus
dirumuskan secara jelas dan operasional. Selanjutnya, hasil belajar yang
dicapai dijadikan sebagai tingkat pencapaian tujuan tersebut. Secara
statistik, berdasarkan distribusi normal, seseorang dikatakan berhasil
jika siswa telah dapat menguasai sekurang-kurangnya 60% dari seluruh
tujuan yang harus dicapai. Namun jika menggunakan konsep pembelajaran
tuntas (
mastery learning) dengan menggunakan penilaian acuan
patokan, seseorang dikatakan telah berhasil dalam belajar apabila telah
menguasai standar minimal ketuntasan yang telah ditentukan sebelumnya
atau sekarang lazim disebut Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).
Sebaliknya, jika penguasaan ketuntasan di bawah kriteria minimal maka
siswa tersebut dikatakan mengalami kegagalan dalam belajar. Teknik yang
dapat digunakan ialah dengan cara menganalisis prestasi belajar dalam
bentuk nilai hasil belajar.
2. Kedudukan dalam Kelompok
Kedudukan seorang siswa dalam kelompoknya akan menjadi ukuran dalam
pencapaian hasil belajarnya. Siswa dikatakan mengalami kesulitan
belajar, apabila memperoleh prestasi belajar di bawah prestasi rata-rata
kelompok secara keseluruhan. Misalnya, rata-rata prestasi belajar
kelompok 8, siswa yang mendapat nilai di bawah angka 8, diperkirakan
mengalami kesulitan belajar. Dengan demikian, nilai yang dicapai seorang
akan memberikan arti yang lebih jelas setelah dibandingkan dengan
prestasi yang lain dalam kelompoknya. Dengan norma ini, guru akan dapat
menandai siswa-siswa yang diperkirakan mendapat kesulitan belajar, yaitu
siswa yang mendapat prestasi di bawah prestasi kelompok secara
keseluruhan.
Secara statistik, mereka yang diperkirakan mengalami kesulitan adalah
mereka yang menduduki 25 % di bawah urutan kelompok, yang biasa disebut
dengan
lower group. Dengan teknik ini, kita mengurutkan siswa
berdasarkan nilai nilai yang dicapainya. dari yang paling tinggi hingga
yang paling rendah, sehingga siswa mendapat nomor urut prestasi
(ranking). Mereka yang menduduki posisi 25 % di bawah diperkirakan
mengalami kesulitan belajar. Teknik lain ialah dengan membandingkan
prestasi belajar setiap siswa dengan prestasi rata-rata kelompok. Siswa
yang mendapat prestasi di bawah rata – rata kelompok diperkirakan pula
mengalami kesulitan belajar.
3. Perbandingan antara potensi dan prestasi
Prestasi belajar yang dicapai seorang siswa akan tergantung dari
tingkat potensinya, baik yang berupa kecerdasan maupun bakat. Siswa yang
berpotensi tinggi cenderung dan seyogyanya dapat memperoleh prestasi
belajar yang tinggi pula. Sebaliknya, siswa yang memiliki potensi yang
rendah cenderung untuk memperoleh prestasi belajar yang rendah pula.
Dengan membandingkan antara potensi dengan prestasi belajar yang
dicapainya kita dapat memperkirakan sampai sejauhmana dapat
merealisasikan potensi yang dimikinya. Siswa dikatakan mengalami
kesulitan belajar, apabila prestasi yang dicapainya tidak sesuai dengan
potensi yang dimilikinya. Misalkan, seorang siswa setelah mengikuti
pemeriksaan psikologis diketahui memiliki tingkat kecerdasan (IQ)
sebesar 120, termasuk kategori cerdas dalam skala Simon & Binnet.
Namun ternyata hasil belajarnya hanya mendapat nilai angka 6, yang
seharusnya dengan tingkat kecerdasan yang dimikinya dia paling tidak dia
bisa memperoleh angka 8. Contoh di atas menggambarkan adanya gejala
kesulitan belajar, yang biasa disebut dengan istilah
underachiever.
4. Kepribadian
Hasil belajar yang dicapai oleh seseorang akan tercerminkan dalam
seluruh kepribadiannya. Setiap proses belajar akan menghasilkan
perubahan-perubahan dalam aspek kepribadian. Siswa yang berhasil dalam
belajar akan menunjukkan pola-pola kepribadian tertentu, sesuai dengan
tujuan yang tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Siswa diakatan
mengalami kesulitan belajar, apabila menunjukkan pola-pola perilaku atau
kepribadian yang menyimpang dari seharusnya, seperti : acuh tak acuh,
melalaikan tugas, sering membolos, menentang, isolated, motivasi lemah,
emosi yang tidak seimbang dan sebagainya.
C. Diagnostik mengatasi kesulitan belajar
Belajar pada dasarnya merupakan proses usaha aktif seseorang untuk
memperoleh sesuatu, sehingga terbentuk perilaku baru menuju arah yang
lebih baik. Kenyataannya, para pelajar seringkali tidak mampu mencapai
tujuan belajarnya atau tidak memperoleh perubahan tingkah laku sebagai
mana yang diharapkan. Hal itu menunjukkan bahwa siswa mengalami
kesulitan belajar yang merupakan hambatan dalam mencapai hasil belajar.
Sementara itu, setiap siswa dalam mencapai sukses belajar, mempunyai
kemampuan yang berbeda-beda. Ada siswa yang dapat mencapainya tanpa
kesulitan, akan tetapi banyak pula siswa mengalami kesulitan, sehingga
menimbulkan masalah bagi perkembangan pribadinya.
Menghadapi masalah itu, ada kecendrungan tidak semua siswa mampu
memecahkannya sendiri. Seseorang mungkin tidak mengetahui cara yang baik
untuk memecahkan masalah sendiri. Ia tidak tahu apa sebenarnya masalah
yang dihadapi. Ada pula seseorang yang tampak seolah tidak mempunyai
masalah, padahal masalah yang dihadapinya cukup berat.
Atas kenyataan itu, semestinya sekolah harus berperan turut membantu
memecahkan masalah yang dihadapi siswa. Seperti diketahui, sekolah
sebagai lembaga pendidikan formal sekurang-kurangnya memiliki 3 fungsi
utama. Pertama fungsi pengajaran, yakni membantu siswa dalam memperoleh
kecakapan bidang pengetahuan dan keterampilan. Kedua, fungsi
administrasi, dan ketiga fungsi pelayanan siswa, yaitu memberikan
bantuan khusus kepada siswa untuk memperoleh pemahaman diri, pengarahan
diri dan integrasi sosial yang lebih baik, sehingga dapat menyesuaikan
diri baik dengan dirinya maupun dengan lingkungannya.
Setiap fungsi pendidikan itu, pada dasarnya bertanggung jawab
terhadap proses pendidikan pada umumnya. Termasuk seorang guru yang
berdiri di depan kelas, bertanggung jawab pula atau melekat padanya
fungsi administratif dan fungsi pelayanan siswa. Hanya memang dalam
pendidikan, pada dasarnya sulit memisahkan secara tegas fungsi yang satu
dengan fungsi yang lainnya, meskipun pada setiap fungsi tersebut
mempunyai penanggung jawab masing-masing. Dalam hal ini, guru atau
pembimbing dapat membawa setiap siswa kearah perkembangan individu
seoptimal mungkin dalam hubungannya dengan kehidupan sosial serta
tanggung jawab moral. Salah satu kegiatan yang harus dilaksanakan oleh
guru dalam melaksanakan tugas dan peranannya ialah kegiatan evaluasi.
Dilihat dari jenisnya evaluasi ada empat, yaitu sumatif, formatif,
penempatan, dan diagnostik.
1. Diagnosis
Diagnosis merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau
yang melatarbelakangi timbulnya masalah siswa. Dalam konteks Proses
Belajar Mengajar faktor-faktor yang penyebab kegagalan belajar siswa,
bisa dilihat dari segi input, proses, ataupun out put belajarnya. W.H.
Burton membagi ke dalam dua bagian faktor – faktor yang mungkin dapat
menimbulkan kesulitan atau kegagalan belajar siswa, yaitu : (a) faktor
internal; faktor yang besumber dari dalam diri siswa itu sendiri,
seperti : kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan, bakat, kepribadian,
emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis lainnya; dan (b) faktor
eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan sekolah termasuk
didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.
2. Prognosis
Langkah ini untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami siswa
masih mungkin untuk diatasi serta menentukan berbagai alternatif
pemecahannya, Hal ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan
menginterpretasikan hasil-hasil langkah kedua dan ketiga. Proses
mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih dahulu
dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang
kompeten untuk diminta bekerja sama menangani kasus – kasus yang
dihadapi.
3. Tes diagnostik
Pada konteks ini, penulis akan mencoba menyoroti tes diagnostik
kesulitan belajar yang kurang sekali diperhatikan sekolah. Lewat tes itu
akan dapat diketahui letak kelemahan seorang siswa. Jika kelemahan
sudah ditemukan, maka guru atau pembimbing sebaiknya mengetahui hal-hal
apa saja yang harus dilakukan guna menolong siswa tersebut.
Tes dignostik kesulitan belajar sendiri dilakukan melalui pengujian
dan studi bersama terhadap gejala dan fakta tentang sesuatu hal, untuk
menemukan karakteristik atau kesalahn-kesalahan yang esensial. Tes
dignostik kesulitan belajar juga tidak hanya menyangkut soal aspek
belajar dalam arti sempit yakni masalah penguasaan materi pelajaran
semata, melainkan melibatkan seluruh aspek pribadi yang menyangkut
perilaku siswa.
Tujuan tes diagnostik untuk menemukan sumber kesulitan belajar dan
merumuskan rencana tindakan remidial. Dengan demikian tes diagnostik
sangat penting dalam rangka membantu siswa yang mengalami kesulitan
belajar dan dapat diatasi dengan segera apabila guru atau pembinbing
peka terhadap siswa tersebut. Guru atau pembimbing harus mau meluangkan
waktu guna memerhatikan keadaan siswa bila timbul gejala-gejala
kesulitan belajar.
Agar memudahkan pelaksanaan tes diagnostik, maka guru perlu
mengumpulkan data tentang anak secara lengkap, sehingga penanganan kasus
akan menjadi lebih mudah dan terarah.
D. Bimbingan Belajar
Bimbingan belajar merupakan upaya guru untuk membantu siswa yang
mengalami kesulitan dalam belajarnya. Secara umum, prosedur bimbingan
belajar dapat ditempuh melalui langkah-langkah sebagai berikut
1. Identifikasi kasus
Identifikasi kasus merupakan upaya untuk menemukan siswa yang diduga
memerlukan layanan bimbingan belajar. Robinson dalam Abin Syamsuddin
Makmun (2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk
mendeteksi siswa yang diduga mebutuhkan layanan bimbingan belajar, yakni
:
- Call them approach; melakukan wawancara dengan memanggil
semua siswa secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat
ditemukan siswa yang benar-benar membutuhkan layanan bimbingan.
- Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik,
penuh keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru
dengan siswa. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang
tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja,
misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi
informal lainnya.
- Developing a desire for counseling; menciptakan suasana
yang menimbulkan ke arah penyadaran siswa akan masalah yang dihadapinya.
Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan siswa yang bersangkutan
tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan
hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan
berbagai tindak lanjutnya.
- Melakukan analisis terhadap hasil belajar siswa, dengan cara ini
bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang
dihadapi siswa.
- Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan siswa yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial
2. Identifikasi Masalah
Langkah ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik
kesulitan atau masalah yang dihadapi siswa. Dalam konteks Proses Belajar
Mengajar, permasalahan siswa dapat berkenaan dengan aspek : (a)
substansial – material; (b) struktural – fungsional; (c) behavioral; dan
atau (d) personality. Untuk mengidentifikasi masalah siswa, Prayitno
dkk. telah mengembangkan suatu instrumen untuk melacak masalah siswa,
dengan apa yang disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat
membantu untuk mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi siswa, seputar
aspek : (a) jasmani dan kesehatan; (b) diri pribadi; (c) hubungan
sosial; (d) ekonomi dan keuangan; (e) karier dan pekerjaan; (f)
pendidikan dan pelajaran; (g) agama, nilai dan moral; (h) hubungan
muda-mudi; (i) keadaan dan hubungan keluarga; dan (j) waktu senggang.
3. Remedial atau referal (Alih Tangan Kasus)
Jika
jenis dan sifat serta sumber permasalahannya
masih berkaitan dengan sistem pembelajaran dan masih masih berada dalam
kesanggupan dan kemampuan guru atau guru pembimbing, pemberian bantuan
bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau guru pembimbing itu sendiri.
Namun, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang
lebih mendalam dan lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru
pembimbing sebatas hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih
kompeten.
4. Evaluasi dan Follow Up
Cara manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan masalah
seyogyanya dilakukan evaluasi dan tindak lanjut, untuk melihat seberapa
pengaruh tindakan bantuan (
treatment) yang telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang dihadapi siswa.
Berkenaan dengan evaluasi bimbingan, Depdiknas telah memberikan
kriteria-kriteria keberhasilan layanan bimbingan belajar, yaitu :
- Berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh siswa berkaitan dengan masalah yang dibahas;
- Perasaan positif sebagai dampak dari proses dan materi yang dibawakan melalui layanan,
- Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh siswa sesudah
pelaksanaan layanan dalam rangka mewujudkan upaya lebih lanjut
pengentasan masalah yang dialaminya.
Sementara itu, Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003)
mengemukakan beberapa kriteria dari keberhasilan dan efektivitas layanan
yang telah diberikan, yaitu apabila:
- Siswa telah menyadari (to be aware of) atas adanya masalah yang dihadapi.
- Siswa telah memahami (self insight) permasalahan yang dihadapi.
- Siswa telah mulai menunjukkan kesediaan untuk menerima kenyataan diri dan masalahnya secara obyektif (self acceptance).
- Siswa telah menurun ketegangan emosinya (emotion stress release).
- Siswa telah menurun penentangan terhadap lingkungannya
- Siswa mulai menunjukkan kemampuannya dalam mempertimbangkan,
mengadakan pilihan dan mengambil keputusan secara sehat dan rasional.
- Siswa telah menunjukkan kemampuan melakukan usaha –usaha perbaikan
dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, sesuai dengan dasar
pertimbangan dan keputusan yang telah diambilnya.
E. Model Pembelajaran
Dalam mengimplementasikan Kurikulum Berbasis Kompetensi, E. Mulyasa
(2003) mengetengahkan lima model pembelajaran yang dianggap sesuai
dengan tuntutan Kurikukum Berbasis Kompetensi; yaitu : (1) Pembelajaran
Kontekstual (
Contextual Teaching Learning); (2) Bermain Peran (
Role Playing); (3) Pembelajaran Partisipatif (
Participative Teaching and Learning); (4) Belajar Tuntas (M
astery Learning); dan (5) Pembelajaran dengan Modul (
Modular Instruction). Sementara itu, Gulo (2005) memandang pentingnya strategi pembelajaran inkuiri (
inquiry).
Di bawah ini akan diuraikan secara singkat dari masing-masing model pembelajaran tersebut.
1. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning)
Pembelajaran Kontekstual (
Contextual Teaching Learning) atau
biasa disingkat CTL merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada
keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan nyata,
sehingga peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi
hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pembelajaran kontekstual, tugas guru adalah memberikan
kemudahan belajar kepada peserta didik, dengan menyediakan berbagai
sarana dan sumber belajar yang memadai. Guru bukan hanya menyampaikan
materi pembelajaran yang berupa hapalan, tetapi mengatur lingkungan dan
strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik belajar.
Dengan mengutip pemikiran Zahorik, E. Mulyasa (2003) mengemukakan
lima elemen yang harus diperhatikan dalam pembelajaran kontekstual,
yaitu :
- Pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta didik
- Pembelajaran dimulai dari keseluruhan (global) menuju bagian-bagiannya secara khusus (dari umum ke khusus)
- Pembelajaran harus ditekankan pada pemahaman, dengan cara: (a)
menyusun konsep sementara; (b) melakukan sharing untuk memperoleh
masukan dan tanggapan dari orang lain; dan (c) merevisi dan
mengembangkan konsep.
- Pembelajaran ditekankan pada upaya mempraktekan secara langsung apa-apa yang dipelajari.
- Adanya refleksi terhadap strategi pembelajaran dan pengembangan pengetahuan yang dipelajari.
2. Bermain Peran (Role Playing)
Bermain peran merupakan salah satu model pembelajaran yang diarahkan
pada upaya pemecahan masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan
antarmanusia (
interpersonal relationship), terutama yang menyangkut kehidupan peserta didik.
Pengalaman belajar yang diperoleh dari metode ini meliputi, kemampuan
kerjasama, komunikatif, dan menginterprestasikan suatu kejadian Melalui
bermain peran, peserta didik mencoba mengeksplorasi hubungan-hubungan
antarmanusia dengan cara memperagakan dan mendiskusikannya, sehingga
secara bersama-sama para peserta didik dapat mengeksplorasi
parasaan-perasaan, sikap-sikap, nilai-nilai, dan berbagai strategi
pemecahan masalah.
Dengan mengutip dari Shaftel dan Shaftel, (E. Mulyasa, 2003)
mengemukakan tahapan pembelajaran bermain peran meliputi : (1)
menghangatkan suasana dan memotivasi peserta didik; (2) memilih peran;
(3) menyusun tahap-tahap peran; (4) menyiapkan pengamat; (5) menyiapkan
pengamat; (6) tahap pemeranan; (7) diskusi dan evaluasi tahap diskusi
dan evaluasi tahap I ; (8) pemeranan ulang; dan (9) diskusi dan evaluasi
tahap II; dan (10) membagi pengalaman dan pengambilan keputusan.
3. Pembelajaran Partisipatif (Participative Teaching and Learning)
Pembelajaran Partisipatif (
Participative Teaching and Learning)
merupakan model pembelajaran dengan melibatkan peserta didik secara
aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Dengan
meminjam pemikiran Knowles, (E.Mulyasa,2003) menyebutkan indikator
pembelajaran partsipatif, yaitu : (1) adanya keterlibatan emosional dan
mental peserta didik; (2) adanya kesediaan peserta didik untuk
memberikan kontribusi dalam pencapaian tujuan; (3) dalam kegiatan
belajar terdapat hal yang menguntungkan peserta didik.
Pengembangan pembelajaran partisipatif dilakukan dengan prosedur berikut:
- Menciptakan suasana yang mendorong peserta didik siap belajar.
- Membantu peserta didik menyusun kelompok, agar siap belajar dan membelajarkan
- Membantu peserta didik untuk mendiagnosis dan menemukan kebutuhan belajarnya.
- Membantu peserta didik menyusun tujuan belajar.
- Membantu peserta didik merancang pola-pola pengalaman belajar.
- Membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar.
- Membantu peserta didik melakukan evaluasi diri terhadap proses dan hasil belajar.
4. Belajar Tuntas (Mastery Learning)
Belajar tuntas berasumsi bahwa di dalam kondisi yang tepat semua
peserta didik mampu belajar dengan baik, dan memperoleh hasil yang
maksimal terhadap seluruh materi yang dipelajari. Agar semua peserta
didik memperoleh hasil belajar secara maksimal, pembelajaran harus
dilaksanakan dengan sistematis. Kesistematisan akan tercermin dari
strategi pembelajaran yang dilaksanakan, terutama dalam mengorganisir
tujuan dan bahan belajar, melaksanakan evaluasi dan memberikan bimbingan
terhadap peserta didik yang gagal mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Tujuan pembelajaran harus diorganisir secara spesifik untuk
memudahkan pengecekan hasil belajar, bahan perlu dijabarkan menjadi
satuan-satuan belajar tertentu,dan penguasaan bahan yang lengkap untuk
semua tujuan setiap satuan belajar dituntut dari para peserta didik
sebelum proses belajar melangkah pada tahap berikutnya. Evaluasi yang
dilaksanakan setelah para peserta didik menyelesaikan suatu kegiatan
belajar tertentu merupakan dasar untuk memperoleh balikan
(feedback).
Tujuan utama evaluasi adalah memperoleh informasi tentang pencapaian
tujuan dan penguasaan bahan oleh peserta didik. Hasil evaluasi digunakan
untuk menentukan dimana dan dalam hal apa para peserta didik perlu
memperoleh bimbingan dalam mencapai tujuan, sehinga seluruh peserta
didik dapat mencapai tujuan ,dan menguasai bahan belajar secara maksimal
(belajar tuntas).
Strategi belajar tuntas dapat dibedakan dari pengajaran non belajar
tuntas dalam hal berikut : (1) pelaksanaan tes secara teratur untuk
memperoleh balikan terhadap bahan yang diajarkan sebagai alat untuk
mendiagnosa kemajuan (
diagnostic progress test); (2) peserta
didik baru dapat melangkah pada pelajaran berikutnya setelah ia
benar-benar menguasai bahan pelajaran sebelumnya sesuai dengan patokan
yang ditentukan; dan (3) pelayanan bimbingan dan konseling terhadap
peserta didik yang gagal mencapai taraf penguasaan penuh, melalui
pengajaran remedial (pengajaran korektif).
Strategi belajar tuntas dikembangkan oleh Bloom, meliputi tiga
bagian, yaitu: (1) mengidentifikasi pra-kondisi; (2) mengembangkan
prosedur operasional dan hasil belajar; dan (3c) implementasi dalam
pembelajaran klasikal dengan memberikan “bumbu” untuk menyesuaikan
dengan kemampuan individual, yang meliputi : (1)
corrective technique
yaitu semacam pengajaran remedial, yang dilakukan memberikan pengajaran
terhadap tujuan yang gagal dicapai peserta didik, dengan prosedur dan
metode yang berbeda dari sebelumnya; dan (2) memberikan tambahan waktu
kepada peserta didik yang membutuhkan (sebelum menguasai bahan secara
tuntas).
Di samping implementasi dalam pembelajaran secara klasikal, belajar
tuntas banyak diimplementasikan dalam pembelajaran individual. Sistem
belajar tuntas mencapai hasil yang optimal ketika ditunjang oleh
sejumlah media, baik hardware maupun software, termasuk penggunaan
komputer (internet) untuk mengefektifkan proses belajar.
5. Pembelajaran dengan Modul (Modular Instruction)
Modul adalah suatu proses pembelajaran mengenai suatu satuan bahasan
tertentu yang disusun secara sistematis, operasional dan terarah untuk
digunakan oleh peserta didik, disertai dengan pedoman penggunaannya
untuk para guru. Pembelajaran dengan sistem modul memiliki karakteristik
sebagai berikut:
- Setiap modul harus memberikan informasi dan petunjuk pelaksanaan
yang jelas tentang apa yang harus dilakukan oleh peserta didik,
bagaimana melakukan, dan sumber belajar apa yang harus digunakan.
- Modul meripakan pembelajaran individual, sehingga mengupayakan untuk
melibatkan sebanyak mungkin karakteristik peserta didik. Dalam setiap
modul harus : (1) memungkinkan peserta didik mengalami kemajuan belajar
sesuai dengan kemampuannya; (2) memungkinkan peserta didik mengukur
kemajuan belajar yang telah diperoleh; dan (3) memfokuskan peserta didik
pada tujuan pembelajaran yang spesifik dan dapat diukur.
- Pengalaman belajar dalam modul disediakan untuk membantu peserta
didik mencapai tujuan pembelajaran seefektif dan seefisien mungkin,
serta memungkinkan peserta didik untuk melakukan pembelajaran secara
aktif, tidak sekedar membaca dan mendengar tapi lebih dari itu, modul
memberikan kesempatan untuk bermain peran (role playing), simulasi dan
berdiskusi.
- Materi pembelajaran disajikan secara logis dan sistematis, sehingga
peserta didik dapat menngetahui kapan dia memulai dan mengakhiri suatu
modul, serta tidak menimbulkan pertanyaaan mengenai apa yang harus
dilakukan atau dipelajari.
- Setiap modul memiliki mekanisme untuk mengukur pencapaian tujuan
belajar peserta didik, terutama untuk memberikan umpan balik bagi
peserta didik dalam mencapai ketuntasan belajar.
Pada umumnya pembelajaran dengan sistem modul akan melibatkan
beberapa komponen, diantaranya : (1) lembar kegiatan peserta didik; (2)
lembar kerja; (3) kunci lembar kerja; (4) lembar soal; (5) lembar
jawaban dan (6) kunci jawaban.
Komponen-komponen tersebut dikemas dalam format modul, sebagai beriku:
- Pendahuluan; yang berisi deskripsi umum, seperti materi
yang disajikan, pengetahuan, keterampilan dan sikap yang akan dicapai
setelah belajar, termasuk kemampuan awal yang harus dimiliki untuk
mempelajari modul tersebut.
- Tujuan Pembelajaran; berisi tujuan pembelajaran khusus yang
harus dicapai peserta didik, setelah mempelajari modul. Dalam bagian
ini dimuat pula tujuan terminal dan tujuan akhir, serta kondisi untuk
mencapai tujuan.
- Tes Awal; yang digunakan untuk menetapkan posisi peserta
didik dan mengetahui kemampuan awalnya, untuk menentukan darimana ia
harus memulai belajar, dan apakah perlu untuk mempelajari atau tidak
modul tersebut.
- Pengalaman Belajar; yang berisi rincian materi untuk setiap
tujuan pembelajaran khusus, diikuti dengan penilaian formatif sebagai
balikan bagi peserta didik tentang tujuan belajar yang dicapainya.
- Sumber Belajar; berisi tentang sumber-sumber belajar yang dapat ditelusuri dan digunakan oleh peserta didik.
- Tes Akhir; instrumen yang digunakan dalam tes akhir sama
dengan yang digunakan pada tes awal, hanya lebih difokuskan pada tujuan
terminal setiap modul.
Tugas utama guru dalam pembelajaran sistem modul adalah
mengorganisasikan dan mengatur proses belajar, antara lain : (1)
menyiapkan situasi pembelajaran yang kondusif; (2) membantu peserta
didik yang mengalami kesulitan dalam memahami isi modul atau pelaksanaan
tugas; (3) melaksanakan penelitian terhadap setiap peserta didik.
6. Pembelajaran Inkuiri
Pembelajaran inkuiri merupakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan
secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki
sesuatu (benda, manusia atau peristiwa) secara sistematis, kritis,
logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya
dengan penuh percaya diri.
Joyce (Gulo, 2005) mengemukakan kondisi- kondisi umum yang merupakan
syarat bagi timbulnya kegiatan inkuiri bagi siswa, yaitu : (1) aspek
sosial di dalam kelas dan suasana bebas-terbuka dan permisif yang
mengundang siswa berdiskusi; (2) berfokus pada hipotesis yang perlu
diuji kebenarannya; dan (3) penggunaan fakta sebagai evidensi dan di
dalam proses pembelajaran dibicarakan validitas dan reliabilitas tentang
fakta, sebagaimana lazimnya dalam pengujian hipotesis,
Proses inkuiri dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
- Merumuskan masalah; kemampuan yang dituntut adalah : (a) kesadaran terhadap masalah; (b) melihat pentingnya masalah dan (c) merumuskan masalah.
- Mengembangkan hipotesis; kemampuan yang dituntut dalam
mengembangkan hipotesis ini adalah : (a) menguji dan menggolongkan data
yang dapat diperoleh; (b) melihat dan merumuskan hubungan yang ada
secara logis; dan merumuskan
- Menguji jawaban tentatif; kemampuan yang dituntut adalah :
(a) merakit peristiwa, terdiri dari : mengidentifikasi peristiwa yang
dibutuhkan, mengumpulkan data, dan mengevaluasi data; (b) menyusun data,
terdiri dari : mentranslasikan data, menginterpretasikan data dan
mengkasifikasikan data.; (c) analisis data, terdiri dari : melihat
hubungan, mencatat persamaan dan perbedaan, dan mengidentifikasikan
trend, sekuensi, dan keteraturan.
- Menarik kesimpulan; kemampuan yang dituntut adalah: (a) mencari pola dan makna hubungan; dan (b) merumuskan kesimpulan
- Menerapkan kesimpulan dan generalisasi , Guru dalam
mengembangkan sikap inkuiri di kelas mempunyai peranan sebagai konselor,
konsultan, teman yang kritis dan fasilitator. Ia harus dapat membimbing
dan merefleksikan pengalaman kelompok, serta memberi kemudahan bagi
kerja kelompok.
F. Mengatasi Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar merupakan masalah yang cukup kompleks dan sering
membuat orangtua bingung mencari penyelesaiannya. Kesulitan belajar
banyak ditemukan pada anak usia sekolah. Pola belajar anak, memang
dibentuk saat di sekolah dasar. Sesuai dengan masanya ia mengalami
perkembangan mental dan pembentukan karakternya. Di masa kini anak tidak
hanya belajar menghitung, membaca, atau menghafal pengetahuan umum,
tapi juga belajar tentang tanggung jawab, skala nilai moral, skala nilai
prioritas dalam kegiatannya. Masalah disiplin juga tidak kalah
pentingnya. Anak-anak sejak kecil sudah harus ditanamkan disiplin. Jika,
tidak sangat menentukan perkembangan karakter anak tersebut. Di dalam
kebudayaan Bugis-Makassar ada istilah macanga-canga atau memandang
enteng persoalan. Sering menunda-nunda jadwal belajar.
Dalam menghadapi perilaku anak seperti ini, dalalm artikel Ibu Anak
disebutkan setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan. Namun,
sebelum memperhatikan hal tersebut, orangtua hendaknya tidak mudah jatuh
iba sehingga mengambil alih tugas anak. Tentu dengan tujuan meringankan
agar mereka bisa mengerjakan pekerjaan rumah misalnya.
Sekali lagi orangtua tidak dianjurkan membantu anak dengan cara
mengambil alih, tapi bagaimana menuntun anak agar pekerjaan rumah
dikerjakan sendiri dalam situasi menyenangkan.
- 1. Perhatikan Mood
Untuk mengenal mood anak, seorang ibu harus mengenal karakter dan
kebiasaan belajar anak. Apakah anak belajar dengan senang hati atau
dalam keadaan kesal. Jika belajar dalam suasana hati yang senang, maka
apa yang akan dipelajari lebih cepat ditangkap. Bila saat belajar, ia
merasa kesal, coba untuk mencari tahu penyebab munculnya rasa kesal itu.
Apakah karena pelajaran yang sulit atau karena konsentrasi yang pecah.
Nah di sini tugas orangtua untuk menyenangkan hati si anak.
- 2. Siapkan Ruang Belajar
Kesulitan belajar anak bisa juga karena tempat yang tersedia tidak
memadai. Karena itu, coba sediakan tempat belajar untuk anak. Jika
kesulitan itu muncul karena tidak tersedianya meja, maka ajaklah anak
belajar di meja makan didampingi orangtuanya. Tentu sebelum belajar meja
makan harus dibersihkan lebih dahulu.
Selain itu, saat mengajari anak ini Anda bisa melakukannya dengan
menularkan cara belajar yang baik. Misalnya bercerita kepada anak
tentang bagaimana dahulu ibunya menyelesaikan mata pelajaran yang
dianggap sulit. Biasanya anak cepat larut dengan cerita ibunya sehingga
ia mencoba mencocok-cocokkan dengan apa yang dijalaninya sekarang.
- 3. Komunikasi
Masa kecil kita, pelajaran yang disukai tergantung bagaimana cara
guru itu mengajar. Tidak bisa dipungkiri perhatian terhadap mata
pelajaran, tentu ada kaitan dengan cara guru mengajar di kelas.
Sempatkan juga waktu dan dengarkan anak-anak bercerita tentang
bagaimana cara guru mereka mengajar di sekolah. Jika, anak Anda aktif
maka banyak sekali cerita yang lahir termasuk bagaimana guru kelas
memperhatikan baju, ikat rambut, dan sepatunya. Khusus soal komunikasi
ini, biarkan anak-anak bercerita tentang gurunya. Sejak dini biasakan
anak berperilaku sportif dan pandai menyampaikan pendapatnya.
- G. Sasaran dan Langkah-langkah Tindakan Diagnosa
Langkah-Langkah Tindakan Diagnosa Menurut C. Ross dan Julian Stanley,
langkah-langkah mendiagnosis kesulitan belajar ada tiga tahap, yaitu :
1. Langkah-langkah diagnosis yang meliputi aktifitas, berupa:
Identifikasi kasus, Lokalisasi jenis dan sifat kesulitan, Menemukan
faktor penyebab baik secara internal maupun eksternal
2. Langkah prognosis yaitu suatu langkah untuk mengestimasi (mengukur),
memperkirakan apakah kesulitan tersebut dapat dibantu atau tidak.
3. Langkah Terapi yaitu langkah untuk menemukan berbagai alternatif
kemungkinan cara yang dapat ditempuh dalam rangka penyembuhan kesulitan
tersebut yang kegiatannya meliputi antara lain pengajaran remedial,
transfer atau referal.
Sasaran dari kegiatan diagnosis pada dasarnya ditujukan untuk memahami
karakteristik dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesulitan.
Dari ketiga pola pendekatan diatas dapat disimpulkan bahwa
langkah-langkah pokok prosedur dan teknik diagnosa kesulitan belajar
adalah sebagai berikut :
- Mengidentifikasi siswa yang diperkirakan mengalami kesulitan belajar.
- Menandai siswa dalam satu kelas atau dalam satu kelompok yang
diperkirakan mengalami kesulitan belajar baik bersifat umum maupun
khusus dalam bidang studi.
- Meneliti nilai ulangan yang tercantum dalam “record academic”
kemudian dibandingkan dengan nilai-nilai rata-rata kelas atau dengan
kriteria tingkat penguasaan minimal komptensi yang dituntut.
- Menganalisa hasil ulangan dengan melihat sifat kesalahan yang dibuat.
- Melakukan observasi pada saat siswa dalam kegiatan belajar mengajar,
yaitu mengamati tingkah laku siswa dalam mengerjakan tugas-tugas
tertentu yang diberikan didalam kelas, berusaha mengetahui kebiasaan dan
cara belajar siswa dirumah melalui check list.
- Mendapatkan kesan atau pendapat dari guru lain terutama wali kelas, dan guru pembimbing.
- Mengalokasikan letaknya kesulitan atau permasalahannya, dengan cara
mendeteksi kesulitan belajar pada bidang studi tertentu. Dengan
membandingkan angka nilai prestasi siswa yang bersangkutan dari bidang
studi yang diikuti atau dengan angka nilai rata-rata dari setiap bidang
studi. Atau dengan melakukan analisa terhadap catatan mengenai proses
belajar. Hasil analisa empiris terhadap catatan keterlambatan
penyelesaian tugas, kehadiran, kekurang aktifan dan kecenderungan
berpartisipasi dalam belajar.
- Melokalisasikan jenis faktor dan sifat yang menyebabkan mengalami berbagai kesulitan.
- Memperkirakan alternatif pertolongan, menetapkan kemungkinan cara
mengatasinya baik yang bersifat mencegah (preventif) maupun penyembuhan
(kuratif).
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
- A. Simpulan
Kesulitan dalam pembelajaran atau belajar merupakan suatu hal yang
sering ditemui oleh para pendidik, terutama guru. Sebagai upaya untuk
memberikan terapi terhadap permasalahan kesulitan belajar maka dapat
ditempuh melalui media klinik pembelajaran.
Klinik pembelajaran merupakan wadah bagi guru untuk melakukan
serangkaian upaya yaitu kegiatan refleksi, penemuan masalah, pemecahan
masalah melalui beragam strategi untuk meningkatkan keterampilan dalam
mengelola pembelajaran. Strategi utama yang digunakan adalah Penelitian
Tindakan Kelas.
Karena klinik pembelajaran merupakan milik bersama para guru, maka
tempat ini dapat digunakan dengan bebas untuk berdiskusi, melakukan
refleksi atau merenung tentang proses pembelajaran yang telah dijalani,
bersimulasi, misalnya bagaimana cara mengajarkan suatu konsep dengan
menyenangkan, dan membuat catatan bersama-sama dengan teman sejawat. Di
Klinik Pembelajaran, para supervisor akan membantu dalam melakukan
berbagai kegiatan tersebut.
Dalam klinik pembelajaran analisis kesulitan pembelajaran dapat
dilalui dengan identifikasi kesulitan belajar, mengadakan diagnosis
kesulitan belajar, melakukan bimbingan dan konseling belajar, dan
kemudian menetapkan model pembelajaran serta mengatasi kesulitan
belajar.
- B. Saran
Penerapan prosedur dan teknik diagnosis kesulitan belajar dalam
proses konseling bisa sangat bervariasi, bahkan ada beberapa pakar yang
bertolak belakang atau kontradiktif. Bahkan, menurut Carl Rogers, terapi
atau pertolongan yang baik tidak membutuhkan keterampilan dan
pengetahuan diagnosa. Hal ini bertolak belakang dengan pendapat
Wiliamson, Ellis, Frued dan Thorn yang menekankan bahwa diagnosa sebagai
langkah yang perlu dipakai dalam pendekatan konseling, termasuk
konseling yang mengenai kesulitan dalam belajar. Bahkan ditekankan bahwa
diagnosa merupakan bagian dari kegiatan konselor dalam proses
konseling.
Seyogyanya seorang pembimbing atau konselor perlu mengingat dan dapat
bertindak bijaksana dalam mempertimbangkan kapan sebaiknya diagnosa
dipergunakan atau tidak untuk menolong siswa dalam mengatasi kesulitan
belajar.
Ada berbagai macam cara untuk mengidentifikasi siswa, diantaranya
seorang konselor dapat menggunakan check list. Disamping penggunaan
check list ini sangat efektif dan efisien terutama bila jumlah siswa
banyak, check list ini bisa berfungsi sebagai alat pengayaan (screening
device) untuk mengidentifikasi siswa yang perlu segera atau skala
prioritas yang harus ditolong. Sebab-sebab yang mungkin mengakibatkan
timbulnya kesulitan belajar, dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu :
- Banyak sebab yang menimbulkan pola gejala yang sama. Seringkali
gejala-gejala kesulitan belajar yang nampak pada seorang siswa
disebabkan oleh faktor-faktor yang berbeda dengan yang lain yang
memeperlihatkan gejala yang sama.
- Banyak pola gejala yang ditimbulkan oleh sebab yang sama. Sebab yang
nampak sama, dapat mengakibatkan gejala yang berbeda-beda bagi siswa
yang berlainan perlu diperhatikan adanya kesesuaian antara sebab dan
kondisi tempat tinggal siswa.
- Sebab-sebab yang saling berkaitan dengan yang lain. Kesulitan yang
menimbulkan reaksi dari orang-orang yang di sekelilingnya atau yang
menyebabkan dia bereaksi pada dirinya sendiri dengan cara yang
selanjutnya, menyebabkan timbulnya kesulitan yang baru.
Proses pemecahan kesulitan belajar pada siswa yaitu dimulai dengan
memperkirakan kemungkinan bantuan apakah siswa tersebut masih mungkin
ditolong untuk mengatasi kesulitan atau tidak, berapa lama waktu yang
dibutuhkan untuk mengatasi kesulitan yang dialami oleh siswa tertentu
dan dimana pertolongan itu dapat diberikan. Perlu dianalisis pula siapa
yang dapat memberikan pertolongan dan bantuan, bagaimana cara menolong
siswa yang efektif dan siapa yang harus dilibatkan dalam proses
konseling. Dalam proses pemberian bantuan, diperlukan bimbingan yang
intensif, dan berkelanjutan agar siswa dapat mengembangkan diri secara
optimal dan menyesuaikan diri terhadap perkembangan pribadinya dan
lingkungannya.
Kemampuan yang harus dimiliki Konselor terkait dengan perannya sebagai seorang konselor, ialah mampu melakukan langkah-langkah :
- Mengumpulkan data tentang siswa.
- Mengamati tingkah laku siswa.
- Mengenal siswa yang memerlukan bantuan khusus.
- Mengadakan komunikasi dengan orang tua siswa untuk memperoleh keterangan dalam pendidikan anak.
- Bekerjasama dengan ma.syarakat dan lembaga yang terkait untuk membantu
memecahkanmasalah siswa.
- Membuat catatan pribadi siswa.
- Menyelenggarakan bimbingan kelompok ataupun individual.
- Bekerjasama dengan konselor yang lain dalam menyusun program bimbinga sekolah.
- Meneliti kemajuan siswa baik disekolah maupun diluar sekolah.
Mengingat sedemikian pentingnya peranan dan tanggung jawab konselor,
maka diperlukan dua persyaratan khusus bagi seorang konselor, yaitu
memiliki gelar kesarjanaan dalam bidang Psikologi dan mempunyai
ciri-ciri serta kepribadian antara lain ; dapat memahami orang lain
secara objektif dan simpatik, mampu mengadakan kerjasama dengan orang
lain dengan baik, memiliki kemampuan perspektif, memahami batas-batas
kemampuan sendiri, mempunyai perhatian dan minat terhadap masalah pada
siswa dan ada keinginan untuk membantu, dan harus memiliki sikap yang
bijak dan konsisten dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu, seorang
konselor diharapkan mampu membantu mengatasi dan memecahkan masalah
kesulitan belajar yang dialami oleh siswa. Namun perlu diingat bahwa
keberhasilan suatu konseling akan bisa maksimal apabila ada keterbukaan
dan kepercayaan antara pihak klien dan konselor.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Referensi :
Abin Syamsuddin (2003),
Psikologi Pendidikan, Bandung : PT Remaja Rosda Karya
Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya (__ ___ ).
Strategi Belajar Mengajar. Bandung : Pustaka Setia
E. Mulyasa (2003).
Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep; Karakteristik dan Implementasi. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
E. Mulyasa (2004).
Implementasi Kurikulum 2004; Panduan Pembelajaran KBK. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
Prayitno dan Erman Anti (1995),
Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta : P2LPTK Depdikbud
Prayitno (2003),
Panduan Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Depdikbud Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah
Seri Pemandu Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di Sekolah (1995),
Pelayanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah Umum (SMU) Buku
IV, Jakarta : IPBI
Udin S. Winataputra, dkk. (2003).
Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Pusat Penerbitan Universitas Terbuka
Winkel, W.S. (1991), Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Jakarta : Gramedia
W.,Gulo (2005).
Strategi Belajar Mengajar Jakarta :. Grasindo.
http://bangakil.wordpress.com/2012/04/12/prosedur-dan-teknik-diagnosis-kesulitan-belajar/